"Governments never learn. Only people learn."
Milton Friedman

Sabtu, 19 Desember 2009

Luna Maya, Sri Mulyani, dan Bank Century

Aneh, itulah kata pertama yang keluar dari benak saya ketika melihat polemik yang terjadi di Indonesia. Segala sesuatu menjadi tidak terkendali dan sangat tidak logis. Privasi seorang manusia biasa sudah menjadi barang yang mahal dan harus dibeli layaknya private goods. Kenapa tidak? Seorang Luna Maya yang notabenenya sama dengan 220 juta rakyat Indonesia lainnya tidak bisa memperoleh kehidupan yang bebas seperti yang diperoleh oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Bahkan ketika ingin menonton ke bioskop pun dia terus dibuntuti oleh para wartawan inpotenmen.

Sebagai manusia dan rakyat biasa, Luna Maya mempunyai hak untuk memperoleh kehidupan yang aman dari segala tekanan dan kejaran para wartawan. Memang tidak bisa dipungkiri, dia dibesarkan oleh wartawan inpotenmen, tetapi apakah didalam kode etik jurnalistik para wartawan inpotenmen diberikan hak yang istimewa untuk "menganggu" kehidupan seorang warga negara. Disaat inpotenmen memberitakan kehidupan pribadi para artis, si artis tidak bisa menuntut. Tetapi dikala sang artis khilaf, wartawan inpotenmen ini merasa mereka dilecehkan dsb. Aneh.....

Selain masalah Luna Maya, ada juga berita mengenai menteri keuangan kita, Ibu Sri Mulyani. Tuntutan untuk mengundurkan diri atau pun non-aktif sebagai menteri keuangan menjadi salah satu imbauan dari pansus angket century. Alih-alih ingin terkesan heorik dimata masyarakat , para "anggota dewan yang terhormat" membuat sebuah keputusan yang sangat aneh. UUD 1945 tidak pernah menyatakan adanya istilah non-aktif dalam jajaran kabinet. Lantas, para "anggota dewan yang terhormat" mengusulkan sebuah imbauan yang tidak sesuai dengan konstitusi tertinggi negara. Kita tidak tahu apa yang didalam benak mereka semua. Apakah memang berniat untuk mengusut tuntas permasalahan yang dialami oleh negara, atau sekedar mengendus sebuah jabatan? Lagi-lagi Aneh...............

Terakhir, ada bank yang bernama BCL (Bank Century Lagi). Sebuah bank yang dianggap sudah bobrok semenjak berdiri. Ketika perekonomian dunia beserta Indonesia mengalami guncangan diakhir tahun 2008 banyak pendapat yang menginginkan kebijakan yang cepat dari pemerintah untuk menghindari dampak buruk (sistengik) dari bobroknya BCL ini. Hal tersebut juga disampaikan oleh sosok yang menginisiasi dibentuknya pengusutan kasus BCL ini. Beliau yang tidak boleh disebut namanya ini sekarang maju sebagai calon ketua Partai Amanat Mana Gue Tau (PAM GT). Pendapat beliau yang tidak boleh disebut namanya tersebut bisa dicek di majalah tempo. Suatu waktu orang bisa mengatakan pemerintah harus begini, tetapi dalam waktu yang tidak terlalu lama, apa yang mereka sarankan kepada pemerintah dianggap sebagai suatu kebijakan yang salah. Untuk terakhir kalinya saya bilang, Aneh..................

NB: Untuk kemiripan nama, karakter atau pun perilaku, itu hanyalah sebuah kebetulan belaka. Bukan fiktif, namun benar-benar ada....

Kamis, 15 Oktober 2009

Pembajakan Teknologi : Baik Atau Buruk?

Tertarik dengan sebuah statement Emil Salim di kelas Esdal, saya mencoba memberikan pendapat tentang trade off antara kemiskinan dengan pembelian teknologi. Bagi Negara-negara berkembang seperti Indonesia, masalah kemiskinan adalah hal utama yang harus dibenahi. Namun bukan suatu perbincangan ekonomi apabila tidak ada the other hand. Di sisi lain, biaya mahal pun harus dikeluarkan untuk mendapatkan teknologi untuk mendukung peningkatan kapasitas output, peningkatan kualitas, hemat, rendah emisi dan sebagainya.

Thomas Robert Malthus pernah berkata bahwa dalam jangka panjang manusia akan mati kelaparan. Tak ada kemajuan teknologi yang dapat mengalihkan keadaan itu, karena kenaikan supply makanan terbatas, sedangkan "pertumbuhan penduduk tak terbatas, dan bumi tak mampu memproduksi makanan untuk menjaga eksistensi manusia." Namun seperti yang kita tahu, teknologi menjawab semua permasalahan itu.

Masalah utama adalah dana terbatas untuk membeli teknologi tersebut. Ada 2 opsi, mengutamakan alokasi kepada kemiskinan dan ‘membajak’ teknologi seperti yang dilakukan China, atau membeli teknologi dan dengan sendirinya masalah kemiskinan dapat berkurang?

Sebagai contoh, dunia memiliki masalah bersama yaitu pemanasan global namun tanggung jawab setiap Negara tidak sama/berbeda. Perjanjian untuk sama-sama mengurangi emisi akan merugikan bagi perekonomian dalam jangka pendek, terlebih lagi untuk mendukungnya perlu penggunakan teknologi yang rendah emisi. Kita memiliki niat baik untuk menjaga lingkungan, namun sekali lagi dengan alokasi dana terbatas. Aspek lingkungan memang tidak akan dilihat oleh ekonomi mainstream, namun perlu adanya suatu Driving Force didalam ekonomi.

Silahkan memilih opsi disertai alasan atau berikan opsi sendiri jika punya. Terima kasih.

Rabu, 30 September 2009

Ekonom Harus Belajar Fisika!!!

Sepertinya lapangan pekerjaan bagi lulusan economics akan semakin sempit, betapa tidak begitu melihat persaingan saat ini. Setelah anak matematika, hukum, ataupun politik yang sering merebut ‘lapak’ anak ekonomi, kini pesaing baru dengan kompetensinya muncul yaitu fisikawan. Ekonofisika kini hadir menjadi sebuah terobosan baru yang memperbaiki analisa ekonomi lama.

Mungkin ekonofisika mulai ramai diperbincangkan sejak Konferensi Ekonofisika Internasional di Bali pada Agustus 2002. Sejak saat itu Robert F. Engle menemukan analisis data deret waktu ekonomi dengan variansi yang berubah menurut waktu. Selain itu, Clive W. J. Granger juga menemukan tren umum (kointegrasi) data deret waktu ekonomi keuangan. Hal ini yang kemudian membuat mereka berdua meraih nobel ekonomi tahun 2003. Pada akhirnya, ekonofisika menjadi diskursus baru yang terus berevolusi dan memperkaya dirinya sendiri dengan berbagai perangkat teknis matematika dan fisika yang bahkan juga menyentuh disiplin ilmu di luar fisika.

Ekonofisika digunakan untuk menganalisa pergerakan harga saham, kurs valuta asing, GDP, GNP, inflasi, dan data-data lain yang muncul sebagai proses stokastik nonstasioner. Jika sebelumnya kita hanya mempelajari model-model regresi linier untuk mengestimasi, kini telah hadir ekonometrika deret waktu dengan latar belakang matematika dan statistika yang sarat dengan data-data ekonomi keuangan dan demografi. Melihat pentingnya aplikasi dalam hal analisis kita sebagai calon ekonom, sepertinya kita perlu mempelajari kembali beberapa teori fisika yang njelimet itu.

Sepertinya ekonofisika akan jauh lebih sulit daripada fisika. Sesuai dengan pernyataan nobelis fisika Murray Gellmann dalam bukunya The Quark and the Jaguar, “Fisika yang berbicara tentang partikel mati (yang tidak memiliki kehendak) saja sudah sulit, maka dapat dibayangkan kerumitan yang terkandung dalam ekonomi tatkala harus berbicara soal manusia dan agen-agen ekonomi yang memiliki kehendak, harapan, dan system kognitif.”

Jumat, 28 Agustus 2009

BOP-B: Just an Ideas (part 2)

(melanjutkan posting sebelumnya)...Apa arti 3 langkah perubahan yang kita lakukan?
Melalui lembaga yayasan beasiswa yang dikelola Universitas (sebut saja suatu saat UI punya yayasan "Makara Foundation") dan kerjasama badan khusus pengkoordinir dana beasiswa departemen pemerintah, informasi akan tersalurkan seara lebih fokus. Peserta didik yang ingin masuk di PTN tertentu langusng berhubungan dengna pihak bersangkutan. Tidak menutup kemungkinan juga mencari sendiri lembaga swasta.(ingat problem 1).

Berikutnya revolusi kebijakan fiskal terfokus untuk memperbanyak jumlah penyedia scholarship. Sasarannya jelas perusahaan-perusahaan besar. Apalagi melihat kenyataan banyak perusahaan besar yang menunggak pajak. Lebih baik memberikan mereka keringangan lewat kompensasi pendidikan.(ingat problem 2)

Makna penting dari pola pembiayaan ini setidaknya ada 3 hal. Pertama, perubahan paradigma dari meminta keringanan menjadi usaha mencari tambahan dana, hal ini juga mempersiapkan mahasiswa Indonesia bersekolah ke luar negeri. Kedua, ada perubahan moral hazard, keringanan BOP-B memang menyediakan biaya yang ringan tapi (tanpa mengurangi respek terhadap mahasiswa penerima BOP-B) hal ini tidak berpengaruh banyak pada motivasi mereka. Lewat beasiswa, mahasiswa kurang mampu justru terpau untuk belajar lebih giat yang menjadi human capital tersendiri bagi mereka di masa depan.

Ketiga, sistem ini membantu kemudahan transparansi keuangan universitas. Dana operasioanal dihitung seara tepat (sesuai proporsi yang boleh ditanggung peserta didik), lalu di bagi sejumlah kapasitas mahasiswa. Sehingga merek bisa memprediksi dengan baik kekurangan dana dan bisa fokus mengalokasikan dana untuk researh. Sistem ini juga meningkatkan tingkat fairness penerimaan mahasiswa. Tidak ada alasan mahasiswa diterima karena ia lebih "berduit" (lewat jalur tambahan diluar jalur resmi) daripada calon lain yang punya kompetensi lebih namun kemampuan finansial lemah, sebab dana operasional sudah diperhitungkan sebelumnya.

Skema ini masih "jauh api dari panggang", tetapi bukan tidak mungkin. Semoga pendidikan Indonesia menjadi lebih baik.

BOP-B : Just an Ideas (part 1)

Keywords: fixed tuition fee, beasiswa, swasta, PTN, dan kebijakan fiskal,

Apa yang coba diangkat sebenarnya merupakan sebuah skema pembiayaan. Pola yang selama ini didominasi oleh pemerintah sedikit berubah dengan memasukkan unsur swasta. Ide ini di mulai, setelah melihat betapa sistem BOP-B yang berbasis price discrimination sering meninggalkan masalah. Assymetric information, distorsi perilaku, dan "kebocoran" (karena tidak mampu menangkap willingness to pay tiap individu). Sebuah inefisiensi atau dalam bahasa non-ekonominya terjadi ketidakadilan.

Berangkat dari kondisi tersebut kigendeng justru cenderung menawarkan penghapusan BOP-B. Alternatifnya justru sebuah sistem fixed tuition fee artinya seluruh biaya ditanggungkan ke peserta didik dengan besar biaya yang sama. Menutup kesempatan orang miskin? Di sinilah peran swasta dan pemerintah bertemu. "Keadilan" yang dituju dicapai lewat sebuah program beasiswa. Peserta didik yang merasa tidak mampu harus mencari beasiswa untuk membayar uang kuliah. Sedikit kejam? Poin utamanya adalah mengalihkan bentuk keringanan pendidikan menjadi beasiswa. Sebuah perubahan paradigma dari mengharap keringanan menjadi mencari tambahan pembiayaan.

Sumber beasiswa diharapkan berasal dari 3 scholarship agent. Pihak swasta (perusahaan), pemerintah, dan universitas. Lubang besar dari ide ini ada 2, yaitu sulitnya akses informasi beasiswa (problem 1) dan jumlah pendonor (problem 2) termasuk besar dana yang tersedia untuk beasiswa. Satu-persatu akan kita bahas.

Dua problem itu dapat dipecahkan jika ketiga scholarship agent berfungsi dengan optimal. Caranya, paling tidak ada 3 hal yang harus dilakukan:
1. Yayasan Beasiswa PTN.Pihak Universitas seharusnya memiiki satu yayasan tersendiri yang khusus menyediakan beasiswa bagi peserta didik.
2. Beasiswa Departemen.Tiap departemen kementerian harus memiliki alokasi dana beasiswa untuk tingkat perguruan tinggi. Selanjutnya dikoordinir oleh pemerintah dibawah Depdiknas agar dikelola database-nya sehingga bisa disosialisasikan kepada PTN
3. "Menjamurkan Beasiswa".Pemerintah membuat sebuah revolusi kebijakan fiskal dengan memberi keringanan pajak pada perusahaan yang mempunyai CSR berupa yayasan beasiswa atau pendidikan (sebab pada umumya scholarship foundation lebih sering menjadi tax avoidance alih-alih tanggung jawab sosial)

Rabu, 26 Agustus 2009

Masalah BOP-B (Ngapain Repot)

Teman-teman yang sama-sama tinggal di rumah economica sedang ribut memikirkan kemungkinan adik-adik mereka terancam untuk dapat melanjutkan pendidikan tinggi, terutama di Universitas Indonesia. Sebuah empati yang begitu luar biasa ditunjukkan oleh mereka. Sehingga masalah BOP-B menjadi topik yang sering kami bahas di rumah. Namun tidak ada untungnya bagi kita jika selama ini kita tidak bisa berbuat banyak demi hajat hidup adik-adik yang pantas mengecap pendidikan di UI.

Argumen saya adalah masalah BOP-B ini pada hakikatnya merupakan masalah yang berawal dari adanya kesalahan implementasi pelaksanaan BOP-B itu dilapangan. Buruknya sistem dan teknis pelaksanaan menyebabkan banyak orang yang nyalinya langsung menciut untuk mendaftar ulang. Kenapa? Betul kata teman-teman saya, adanya asymetric information, namun lebih tepatnya lagi imperfect information.

Akibat adanya imperfect information tersebut, para Maba menjadi takut untuk daftar ulang. Karena informasi yang dilampirkan di website UI mencantumkan biaya kuliah per semesternya mencapai Rp 5 juta untuk bidang sosial dan Rp 7,5 juta untuk bidang eksakta dan kedokteran. Dampak dari kecerobohan ini sangat jelas, orang menjadi ogah melanjutkan perjuangannya untuk menjadi mahasiswa UI.

Jika dikalkulasikan seorang mahasiswa jurusan filsafat, harus mengeluarkan uang kuliah (hanya untuk biaya semester) sebesar Rp 40 juta. Itupun dengan asumsi lulus empat tahun. Akan ada biaya tambahan, untuk biaya makan, kosan dsb. Hal ini tentu akan sangat berat bagi mereka yang orangtuanya berpenghasilan menengah ke bawah.

Demi mengurangi kebocoran dan banyaknya adik-adik kita yang enggan daftar ulang di UI, rektorat harus menyelesaikan rektorat failure yang terjadi ini. Apa yang harus dilakukan supaya masalah ini tidak berlarut-larut:

1. Evaluasi sistem BOP-B.
Hal ini wajib, mengingat dua tahun pelaksanaannya dan selalu saja bermasalah tiap tahunnya.
2. Transparansi keuangan UI.
Sejauh ini kita tidak pernah tahu kondisi keuangan UI dan sebenarnya berapa student unit cost yang harus ditanggung
3. Ada baiknya rektorat mendengarkan keluhan dan saran dari mahasiswa yang berhubungan langsung dengan sistem ini.
Jangan sampai malah mengekang kebebasan dan menutup gerak-gerik para mahasiswa yang berjuang untuk adik-adik mereka. Mereka tidak menuntut banyak, cuma menginginkan aksesibilitas bagi seluruh anak Indonesia.

Dengan adanya tindakan aktif dari berbagai pihak, kita harapkan masalah ini bisa cepat terselesaikan. Masalah ini jangan sampai membuat kita menjadi terpecah belah dan harus mengeluarkan surat pembekuan kegiatan bagi mereka yang berjuang untuk hak-hak mereka yang tertindas.

BOPB vs Flat

Terkait dengan masalah pelaksanaan BOPB yang sedang ramai diperbincangkan, ada baiknya kita tinjau kembali secara filosofis sistem BOPB. Diawali dengan UI yang membutuhkan dana, maka berbagai opsi ditawarkan seperti menaikkan biaya sesuai student unit cost, subsidi silang atau menaikkan uang semesteran sebesar Rp 300,000 agar UI tetap survive. Seperti yang telah dijelaskan Jahen dibawah, bahwa BOPB merupakan 1st degree of price discrimination atau perfect full price discrimination. Dengan adanya sistem ini maka akan terjadi kenaikan pembayaran bagi sebagian besar orang.

Secara konsep memang terlihat ‘adil’ bagi keuangan mahasiswa, namun yang terjadi saat ini adalah bukti kelemahan system ini yaitu kecurangan. Jika kita tinjau kembali, justru BOPB ini merupakan sebuah manifesto ketidakadilan bagi golongan menengah dan kaya. Mengapa demikian? Indonesia menggunakan sistem pajak progresif yang digunakan untuk didistribusikan kembali. Distribusi tersebut memiliki tujuan untuk pemerataan pendapatan atau untuk hal lain termasuk pendidikan. Artinya, dengan system BOPB ini maka golongan kaya akan ‘dimiskinkan’ dua kali.

Mungkin bagi golongan kaya hal ini tidak begitu bermasalah, namun coba bayangkan apa yang terjadi dengan golongan menengah. Coba kalkulasi antara pajak yang dibayarkan selama enam bulan dan kenaikan bayaran per semester (untuk golongan menengah rata-rata Rp 3,000,000) lalu bandingkan dengan tunjangan yang ia dapatkan dari pemerintah jika ia seorang PNS. Is it fair for the middle class? Belum lagi masalah akuntabilitas rektorat dalam penentuan besaran kebutuhan dan pendapatan. Selain itu kita harus menerima konsekuensi subsidi silang ini dengan penurunan kualitas mahasiswa UI. Tahun ini merupakan tahun dengan tingkat Drop Out tertinggi. Tidak perlu saya sebutkan alasannya.

Mahasiswa diberikan fasilitas yang sama satu dengan yang lainnya. Dengan system BOPB ini, siapa yang akan menjadi free rider? Oleh karena itu akan lebih baik jika kita kembali ke system pembayaran semula yaitu system flat yang sulit untuk dicurangi. Lagipula Gumilar pernah berkata “Hanya dengan menaikkan bayaran sebesar Rp 300,000 UI dapat tetap survive..” Sehingga tidak terlalu memberatkan golongan menengah dan lebih ‘adil’ bagi golongan kaya.

Mungkin selanjutnya akan timbul masalah baru seperti orang-orang yang tetap tidak mampu membayar. Mereka tetap harus mendapatkan keringanan melalui berbagai cara yaitu dengan dimotivasi atau bekerja sama dengan pihak-pihak pemberi beasiswa, kerja/magang di salah satu instansi kampus, ataupun pure mendapat keringanan jika benar-benar tidak mampu. Masih banyak ladang-ladang uang bagi UI yang belum dimaksimalkan. Sesuai dengan UU BHP yang mengizinkan pihak universitas mencari uang sendiri dengan mendirikan perusahaan-perusahaan sendiri seperti PT Daya Makara. Selanjutnya tinggal bagaimana manajemen perusahaan tersebut agar dapat dimanfaatkan secara maksimal.

Jangan sampai dengan meningkatnya kebutuhan uang, UI menjadi mengabaikan kualitas dan membuat siswa-siswi pintar tapi tidak mampu menjadi takut untuk masuk UI. Biar bagaimanapun mereka tetap harus mendapatkan pendidikan yang layak tanpa harus dibebani masalah biaya.

Senin, 24 Agustus 2009

BOP-B: A Lemon Problems for Middle Class

Baru saja Prof. Der.Soz. Gumilar Soemantri dalam Kompas hari ini membuat klarifikasi bahwa BEM- UI tidak dibekukan. Tentu kita bingung kenapa muncul isu dibekukan? Kisruh ini dimulai dari ketegangan antara mahasiswa dan pihak rektorat yang masih belum jauh-jauh menyoal BOP (Biaya Operasional Pendidikan) Berkeadilan atau BOP-B

Tidak perlu sampai membolak-balik theory of justice-nya John Rawls, untuk melihat sisi adil mana yang sedang dipermasalahkan. Seharusnya BOP-B adalah price discrimination admission fee yang harus ditanggung sebagai bentuk "adil" bagi kesempatan belajar. Terdengar indah, tetapi kenyataannya pihak mahasiswa mampu menunjukkan "ketidakadilan" dari data-data primer dan sekunder (yang menurut mereka bisa dipercaya). Benarkah orang miskin tidak mendapat keringanan? Ada kebocoran? atau yang paling sulit, bagaimana menentukan"keadilan"?

Sedikit menengahi badai kisruh yang menyebalkan ini, kita coba pahami posisi kedua belah pihak. Saya yakin rektorat tidak akan men-charge mahasiswa yang benar-benar miskin, taruhlah orang tuanya berada di bawah 1$ per hari dalam konsumsinya, dengan angka keterlaluan Rp.5.000.000 misalnya. Banyak bukti menunjukkan mereka mendapat kan BOP terendah yaitu Rp 100.000 per semester sebagai BOP. Masalahnya sekarang ada di middle class ke atas. Anggapah termasuk lower middle class .

Masalah apa? George Akerlof menyebutnya Lemon Problems. Banyak dimensi definisi untuk membahas teori ini. Namun, ide fundamentalnya terdapat pada assymetric information. Hampir mirip dengan kasus asuransi, terdapat fenomena inside information. Hanya sang mahasiswa yang tau kondisi sebenarnya keuangan keluarga mereka. Pihak rektorat tidak tahu jelas. Di sinilah keraguan dan ketidakpercayaan terjadi. Dalam middle class, spread dan distorsi pendapatan dan pengeluaran sangat jelas. Pihak rektorat sebagai pemberi keringanan dengan informasi terbatas dan desakan kebutuhan dan cenderung memasang admission fee yang tinggi akibat ketidaksempurnaan informasi tadi. Hasilnya? "ketidakadilan" pada beberapa anggota golongan middle class terutama dalam zona margin atau abu-abu.

Bukan bermaksud melepas curiga adanya intransparansi rektorat dan birokrasi cacat yang masih mungkin terjadi dalam menciptakan failure. Namun, sekedar menunjukkan sistem BOP-B punya beberapa kebocoran layaknya sistem price discrimination lain dalam ekonomi. Dalam postingan selanjutnya, kigendeng akan coba memberi alternatif kebijakan yang dapat dipertimbangkan. See you on next posting.

Senin, 17 Agustus 2009

Happy Birthday My Beloved Country

Hari ini Indonesia tepat berumur enam puluh empat tahun, bisa dibilang sebuah umur yang cukup tua dibandingkan negara-negara yang pernah dijajah lainnya. Enam puluh empat tahun menjadi sebuah waktu yang cukup untuk memberikan suatu hal yang spesial bagi rakyat Indonesia.

Ketika negeri ini sudah semakin "dewasa", para pemimpin kita masih seperti anak-anak kecil yang tidak memunculkan persatuan yang riil. Mega memilih acara peringatan 17 agustus di Lenteng Agung. cek disini.

Tapi bukan hal ini yang ingin kita bahas, tetapi ada sebuah kajian yang menarik tentang apa yang telah dicapai Indonesia dalam 64 tahun. Cek tabel dibawah ini


Apa yang telah dicapai Indonesia selama 64 tahun ini adalah apa yang dicapai eropa barat selama 400 tahun. Sebuah pencapaian yang secara data merupakan angka yang hebat. Namun yang disayangkan adalah peningkatan tersebut tidak merata pembagiannya. Mungkin inilah yang menjadi permasalahan di negeri ini.

Kita memiliki SDA dan SDM yang melimpah, tetapi ini justru menjadi sebuah kutukan bagi Indonesia. Karena semakin banyaknya sumberdaya alam yang dimiliki justru Indonesia menjadi negara yang malas untuk berusaha (hanya sebuah asumsi).

Pada tahun-tahun berikutnya, kita harapkan pencapaian yang akan dicapai Indonesia akan semakin lebih baik lagi dan bisa semakin mensejahterakan rakyat.

Rabu, 12 Agustus 2009

Seperti Apakah Jawa 2020?

Prediksi ekonomi yang ada, menyebutkan pertumbuhan ekonomi RI bakal menjadi yang paling cepat di asia tenggara. Bahkan, di sumber yang sama, Presiden SBY menargetkan pertumbuhan lebih dari 5% pada 2010, dan lebih besar di tahun berikutnya..
Di sisi yang lain, disebutkan bahwa Pulau Jawa masih menjadi kontributor terbesar bagi PDB Indonesia, sebesar 57,8 persen

artinya, jika pertumbuhan ekonomi RI menjadi paling cepat, otomatis di situ pertumbuhan ekonomi (atau dengan kata lain aktivitas ekonomi) di pulau jawa sendiri akan menjadi makin cepat..

Tentu, menarik sekali membayangkan seperti apa Jawa ke depannya..Jika benar Indonesia akan mengalami pertumbuhan sebesar itu, tentu Jawa juga akan mengalami imbasnya..

Berkaca pada periode Orde Baru silam, dimana sering juga dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia termasuk ‘macan Asia’ (termasuk Indonesia yang pernah digolongkan Macan Asia)akan menyaingi Amerika dan Eropa menjelang tahun 2000 (paling sering pendapat ini dikeluarkan oleh ahli sosial-ekonomi, futurist, dan pengarang Megatrends 2000, John Naisbitt).. namun nyatanya?pada tahun 1997 saja perekonomian Asia sudah ambruk..

Melihat, dari fakta itulah, bisa saja ramalan-ramalan tentang keberhasilan ekonomi Indonesia adalah nonsens..

Namun, di sini saya mengambil asumsi bahwa Indonesia bisa belajar dari kegagalan yang lalu, sehingga benar-benar mampu mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi..

Pertanyaannya adalah: Seperti apakah Jawa nantinya, khususnya di era perdagangan global 2020? akankah ia akan menjadi suatu kawasan industri yang maju? dengan tingkat kesejahteraan penduduknya yang makin tinggi, tingginya angka pendapatan, berkurangnya pengangguran, melimpahnya gedung pencakar langit, dan lain-lain indikator wilayah yang maju..

ataukah ia akan jadi suatu kawasan yang semakin menunjukkan suatu kesenjangan: yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin miskin..toh dengan tingkat pertumbuhan seprti sekarang saja tingkat kesenjagan sudah tinggi, apalagi jika tingkat pertumbuhan menjadi lebih tinggi dari sekarang..

Jadi, manakah yang benar? Semakin senjang atau semakin makmur?

Ah, ataukah saya yang terlalu bermimpi? mengingat 2012 nanti, katanya kita akan kiamat..

Kenapa Harus Ada -/+

Empat semester telah saya lalui di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Menjadi mahasiswa tingkat tiga memberikan sebuah dampak yang luar biasa bagi saya sendiri. Ada tanggung jawab untuk bisa membuktikan bahwa saya disini benar-benar untuk menuntut ilmu. Pada akhirnya ilmu yang saya dapatkan wajib untuk diaplikasikan atau disampaikan kepada orang lain yang kurang mengerti dengan permasalahan disekeliling kita, khususnya permasalahan ekonomi.

Dua tahun telah saya lalui, tetapi ada pertanyaan besar didalam benak saya. Kenapa nilai yang diberikan kepada mahasiswa ada +/-. Kenapa harus ada A- dan B+???? Apa yang melandasi para pembuat kebijakan memberikan sebuah penilaian yang memuat tanda +/-..

Apakah bisa dibilang para dosen tidak pernah ingin mengakui kemampuan para mahasiswa? Sangat simple kan ketika seorang mahasiswa tidak bisa membuktikan dia mengerti pelajaran yang sedang diambil, sang dosen bisa memberikan angka B atau C...lantas kenapa harus ada A-....???

Pertanyaan yang sampai sekarang saya sendiri tidak tahu jawabannya....

Tulisan seorang mahasiswa yang selalu dirugikan karena adanya nilai B+ dan A-....

Rabu, 15 Juli 2009

Golkar Pasca Pilpres: Menjadi Oposisi atau Tidak

Tadi siang, saya tiba-tiba ditarik oleh ketua BEM FE untuk mengikuti diskusi grup diskusi UI (GDUI) di depan jurak. Karena tidak tahu menahu tentang tema yang dibahas, maka saya hanya berusaha menjadi pendengar yang baik dan mencoba memberikan sedikit argumen sesuai dengan pengetahuan yang saya miliki. Kebetulan tema yang diangakat adalah masalah sikap partai golkar pasca pilpres, apakah menjadi oposisi atau tidak?

Secara positive, partai ini telah menjadi partai yang dimanja oleh kekuasaan. Semenjak orde baru hingga saat ini pun golkar tidak lepas dari tampuk kekuasaan. Mereka sudah terbiasa menjadi birokrat sehingga istilah oposisi menjadi sebuah hal yang asing bagi mereka. Hal tersebut masih menjadi polemik di internal golkar sendiri. Agung laksono berpendapat bahwa belum saatnya golkar menjadi oposisi. Hal tersebut disampaikannya pasca pilpres kemaren. cek disini.

Tetapi banyak juga yang menginginkan golkar menjadi oposisi agar menjadi penyeimbang dalam pemerintahan. Ya, dengan bergabungnya golkar kedalam koalisi SBY-Boediono maka pemerintah mempunyai porsi yang sangat besar, karena mencapai 75% dari suara di DPR. Ketika Golkar ikut bergabung dengan PDI-P (walaupun belum pasti), maka akan ada keseimbangan didalam pemerintahan.

Terus apa yang salah ketika golkar menjadi oposisi atau tidak? Mereka akan menemui trade-off dalam politik. Ketika berada didalam pemerintahan, golkar minimal mempunyai alat untuk memudahkan misi mereka untuk pemilu 2014. Kemenangan SBY juga tidak dipungkiri akibat pengaruh kekuasaan sehingga bisa memaksimalkan kampanye. Dengan berada didalam pemerintahan golkar akan bisa menghidupi kehidupan partai. Pembangunan opini publik juga menjadi nilai plus karena mereka akan dianggap sebagai partai yang konsisten akan pro pemerintah (walaupun banyak antitesis terhadap statement ini). Dilihat dari segi ekonomi, golkar akan lebih profitable dibandingkan ketika menjadi oposisi.

Namun tidak ada salahnya bagi golkar untuk menjadi oposisi. Mereka bisa menjadi penyeimbang dalam pemerintahan dan bisa mendapatkan simpati masyarakat dan mungkin saja mendapat dukungan lebih. Tetapi, ketika mereka berada diluar pemerintahan, secara tidak langsung power mereka akan semakin kecil. Akan sulit bagi mereka untuk memaksimalkan kondisi, karena menjadi oposisi di Indonesia berarti harus siap-siap untuk mencari duit kesana kemari.

Pada akhirnya tergantung mereka, apakah akan menjadi pendukung pemerintah atau menjadi oposisi. Namun sebaiknya ada itikad baik pada setiap keputusan yang diambil semata-mata untuk kemajuan bangsa. Bukan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. Intinya politik itu cuma berkutat pada masalah money and power. Tentu akan ada untung ruginya ketika memilih suatu keputusan dan kita hanya berharap agar negeri ini tetap bisa maju dan bangkit.

Jumat, 10 Juli 2009

When economist listen to MP3

One ordinary day, kigendengwaras , the drunken economist, listen a list of songs. While he enjoy the music, his economist instinc just come to realize that how these songs are told so much about economics. On half insanity, let us enter our (beloved) young economist thought:

Rolling Stones: "You can't always get what you want" -- Okay that's why we called it trade-off

Bon Jovi: "Bad Medicine" -- We talk about quota, subsidies, tariff, and dumping isn't it

The Clash: "Career opportunities" --
Definetly, we talk about opportunity cost

U2 : "Stuck in a moment You can't get out of"
--
remember on Great Depression on '30s, you need "intervention"

Michael Bubble: "Everything" -- Ouhh, that the answer for What economics can explain about?

for last,
Cindy Cenora: "Aku Cinta Rupiah" -- Beware! Neo-Protectionism..maybe this song inspire China on Yuan policy..

That's why I love music an economics. Sadly, I learn that I also face indifference curve, it means I couldn't listen to the musics along day, I must sacrifice my time to listen my teacher..

nb: I indebted to Prof Daniel S. Hamermesh for his inspiration that Economics is Everywhere

Senin, 22 Juni 2009

Porn and Economics

Tertarik dengan sebuah perbincangan warung kopi bersama kedua teman saya yang salah satunya mengikuti lomba debat tentang wacana pornografi dan economic growth. Karena merasa penasaran, maka saya mencoba browsing dan mencari fakta-fakta tentang hal tersebut dan hasilnya fantastis.

Underground economics memang secara cultural memberikan dampak negative, namun tidak dengan pertumbuhan ekonomi. Di Italia yang terkenal dengan mafianya, underground economics-nya ternyata tiga kali lipat lebih besar dibandingkan legal economics (dilihat dari GDP). Setidaknya ada tiga bisnis underground economics yang sangat besar yaitu human trafficking, drugs, dan porn business. Bayangkan saja bila anak-anak yang dijual menghasilkan USD 12 miliar per tahun, bisnis mariyuana di Trinidad senilai USD 1 miliar per tahun (namun saya tidak menyarankan hal ini meskipun Aceh memiliki potensi ini).

Mungkin kedua bisnis tersebut memang bertentangan dengan aspek kemanusiaan, namun bagaimana dengan bisnis pornografi di Amerika yang mencapai USD 10 miliar per tahun (Bill Asher, President of Vivid Entertainment Group) atau bisnis pornografi sebesar USD 5,5 miliar per tahun di Jepang.

Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Belanda, Rusia dengan porn rate-nya yang tinggi terbukti dapat memberikan profit yang besar. Mungkin terdapat sebuah korelasi positif antara pornografi dengan pertumbuhan ekonomi, kita bisa melihat sebuah negara yang sedang ‘gila-gilaan’ bereksplorasi dengan industri pornografinya yaitu China yang pertumbuhan ekonominya juga sedang ‘gila-gilaan’.

Pornografi sama seperti pajak yang memiliki behavioral effect. Jika pajak digunakan to reduce spending power, pornografi dapat dijadikan meningkatkan spending power melalui berbagai cara seperti prostitusi, video porno, internet, dan lainnya. Perubahan perilaku ini yang secara cultural memicu perputaran uang yang lebih besar.

Mungkin pornografi dapat dijadikan sebuah instrument fiscal untuk meningkatkan konsumsi yang turun pada saat krisis seperti ini. Cukup bermodalkan model dan sebuah kamera video lalu upload ke internet untuk memulai perputaran uang yang besar. Bill Asher mengemukakan kunci untuk meraup keuntungan adalah dengan teknologi yaitu bagaimana suatu video dapat dilihat tanpa bisa di-copy. Semua itu adalah trade off antara pertumbuhan ekonomi dengan dampaknya pada perubahan cultural, namun cukup tepat untuk dipertimbangkan sebagai sebuah alternative secara pribadi.

Minggu, 21 Juni 2009

Perspektif Baru Neoliberalisme

Alan Greenspan mengakui bahwa sistem yang selama ini dia agung-agungkan merupakan sebuah sistem yang cacat. Sistem kapitalisme dianggap banyak pihak, bahkan greenspan sendiri sebagai suatu sistem yang memiliki banyak kekurangan. Namun pada akhirnya sistem yang dibuat oleh manusia tidak akan sesempurna sistem yang diciptakan Tuhan.

Sebuah tulisan yang ditulis seorang profesor dari Michigan University mengatakan bahwa bagaimana pun kapitalisme merupakan sebuah mesin ekonomi yang sangat produktif

A few years from now, strange
as it may sound, we might all find that we are hungry for more
capitalism, not less. An economic crisis slows growth, and when
countries need growth, they turn to markets.



Sebuah buku yang berjudul A Capitalist Manifesto (Fareed Zakaria:2009) juga menjelaskan bahwa sistem sekarang yang berlaku adalah sebuah sistem yang cacat, namun tetaplah menjadi pilihan utama karena kemampuannya menyerap kapital. Sehingga untuk saat sekarang ini sistem ini masilah menjadi pilihan utama.

Namun kelemahan sistem tersebut juga dijelaskan didalam tulisan Prof Perry bahwa:

Capitalism means growth, but also instability. The system is dynamic and inherently prone to crashes that cause great damage along the way.


Tetapi diakhir tulisannya dia mengatakan bahwa krisis ini bukan dikarenakan sistem kapitalisme tetapi berbagai faktor lainnya

What we are experiencing is not a crisis of capitalism. It is a crisis of finance, of democracy, of globalization and ultimately of ethics.


Tulisan-tulisan tersebut memberikan sebuah perspektif baru tentang isu neolib atau pro pasar yang berkembang selama ini.

Ada yang pro atau kontra dengan tulisan mereka?

Jumat, 19 Juni 2009

Debt: Opportunity or Trap? Or Who Must take The Blame?

Baru saja mengikuti diskusi menarik (KANTIN IE), menyoal utang negara "apakah menguntungkan atau merugikan". Tiba-tiba saja moderator menunjuk ke arah seorang pemuda canggung yang baru datang. Mukanya jelas tampak tidak siap, sementara sebelumnya perdebatan melibatkan data, statistik, rasio, dan istilah-istilah macam "LOI", "agenda asing", IMF, "kepentingan Barat", tinggallah pemuda itu kebingungan. Alih-alih berpendapat ia malah bercerita:

" Ada seorang tukang nasgor (nasi goreng) miskin yang selama ini berjualan di pinggir jalan dengan modal seadanya. Gubuk sederhana, sebuah kompor minyak tua, dan topi penahan terik matahari. Suatu saat sahabat kita ingin menambah modal (baca: utang) pada temannya yang cukup kaya. Temannya bersedia, jumlah 3 juta bukan masalah besar . Namun, sang sahabat tukang nasgor ini mengajukan syarat bahwa ia harus mengganti kompor minyak tua dengan kompor gas ber-LPG.

Menurut sahabat kaya kita ini LPG membuat masakan cepat matang dan intinya lebih efisien, ia menjelaskan bahwa di rumahnya dengan kompor gas, masakan sejenis tersaji lebih cepat dan lebih baik , eh maaf, lebih banyak. Teman kita tukang nasgor ini menyanggupi dan tampak puas. Singkatnya uang dipinjam dan segera ia mengganti kompor tuanya dengan kompor gas. Tak lama berselang tersiar kabar tukang nasgor itu terkena musibah, kompor gasnya meledak. Rupanya ia tidak terlalu paham penggunaan dan perawatan gas LPG. Dengan latar gubuk yang tinggal sisa-sisa, tukang nasgor merenung..."

Siapakah yang harus disalahkan?

Menurut Anda?

Senin, 01 Juni 2009

Neo-liberalisme dan Jilbab

Melihat politik kampanye bangsa Indonesia, adalah cermin kondisi sosial masyarakat kita. Tiba-tiba saja masyarakat Indonesia alergi dengan neo-liberalisme (entah mereka paham atau tidak), tiba-tiba salah satu istri capres tampil ke depan publik menggunakan kain sebagai penutup kepalanya. Yang ada adalah kekikukan dan latah pada masyarakat dan politisi kita. Lalu, mengapa harus Neo-Liberalisme dan Jilbab?

Sederhana, ekonomi dan agama. Memang pada urusan perut dan akhirat lah hampir seluruh hidup manusia termaknai. Tidak heran isu ekonomi dan agama masih efektif dalam mempengaruhi (menakut-nakuti?) masyarakat Indonesia. Neo-Liberalisme itu jahat, tidak berjilab itu neraka. Kekanak-kanakan? Mungkin, tapi itulah kenyataan masyarakat Indonesia. Bukan mengkerdilkan masyarakat Indonesia bagai bocah yang tak tau apa-apa. Tapi sayangnya politisi kita memang pintar memanfaatkan keadaan. Alih-alih mengadakan diskusi panel terbuka soal apa itu liberalisme (tentu diskusi yang berimbang), alih-alih mengedepankan isu toleransi agama, alih-alih mendidik, politisi kita memilih membodohkan masyarakat kita. Mereka paham benar bahwa sebagian besar masyarakat sangat sensitif terhadap kedua isu tersebut. Jangan pilih yang Neo-Lib, pilih yang berjilbab.

Yang perlu disesalkan tidak lain realita kampanye masih berupa kampanye agresif, saling-serang. Sedikit sekali pemaparan visi dan misi, cuma dagelan menjurus black champaign yang kontraproduktif. Mereka bilang ini bagian pembelajaran politik dan demokrasi yang masih muda. Semoga benar begitu, dan semoga bangsa ini banyak belajar.

Senin, 18 Mei 2009

FDA Bill in USA Versus Cigarette Export in Indonesia

FDA Bill in USA Versus Cigarette Export in Indonesia

”Food and Drug Administration (FDA) Bill, pasal 907, menyatakan larangan terdapat flavour pada produk rokok, untuk menekan kebiasaan merokok pada anak2 di bawah umur, dan yang tidak dikategorikan sebagai flavour hanyalah tembakau dan menthol.”

Rokok memang selalu mengundang perdebatan yang panjang, selalu ada yang pro dan kontra. Namun, kali ini terlepas dari problem dalam negeri, kini kita beralih ke isu tentang kuota impor rokok flavour dan kretek di Amerika Serikat. Baru-baru ini, komite senat Amerika Serikat menyetujui legitimasi rancangan UU aturan lembaga Administrasi Makanan dan Obat Amerika (Food and Drug Administration/FDA) atau FDA Bill. Rokok dengan flavour seperti menthol dan cengkeh dianggap lebih berbahaya dibandingkan rokok tanpa cengkeh buatan mereka seperti Malboro.

FDA Bill yang pertama kali diusulkan Senator Judd Gregg pada 2003 ini kemudian diwacanakan lagi oleh Senator Kennedy (Massachusetts) dan De Wine (Ohio) pada 2004. Dan pada Maret 2005, rancangan FDA Bill ini kembali diusulkan. FDA Bill tentu akan sangat merugikan ekspor rokok kretek Indonesia, karena Amerika merupakan salah satu negara tujuan ekspor yang besar bagi Indonesia. Dengan volume nilai ekspor rokok kretek sebesar US$ 282,2 juta pada tahun 2006 atau sekitar Rp 2,6 triliun. Dengan kata lain, industri rokok menyumbang devisa yang cukup besar bagi Indonesia.

Bentuk Proteksionisme

Rokok kretek di Amerika mempunyai sekitar 10-15 persen dari pasar rokok kretekdi negara tersebut, dan dari 10-15 persen tersebut, 95 persennya dikuasai oleh Djarum lalu sisanya dikuasai lainnya termasuk Gudang Garam dengan harga jual rata-rata US$ 6 per bungkus[1]. Ini merupakan salah satu bentuk proteksionisme pemerintah Amerika terhadap industri rokoknya. Berikut ini saya lampirkan tabel sederhana untuk membuktikannya dengan penurunan konsumsi rokok

Amerika Utara........................................20%

Australia dan Selandia Baru........................15%

Eropa Barat............................................8%

Seiring dengan terpuruknya sejumlah industri akibat krisis global, konsumsi rokok juga tercatat mengalami penurunan termasuk di Amerika Utara sebesar 20 persen. Wilayah Amerika Utara menjadi yang paling signifikan mengalami penurunan dibandingkan daerah atau wilayah lainnya.

Dampaknya terhadap Indonesia

Dengan disetujuinya FDA Bill, kuota impor akan membuat produksi dan harga rokok Amerika meningkat. Indonesia akan dirugikan dan ini akan menurunkan nilai ekspor rokok Indonesia, itu berarti Djarum yang selama ini mengekspor 7,5 juta batang perhari harus mengurangi ekspor rokoknya. Di dalam ekonomi kita tahu bahwa turunnya konsumsi akan diiringi dengan turunnya produksi dan akan dilakukan efisiensi dengan mengurangi faktor produksi, dengan kata lain akan ada pengurangan jumlah pekerja. Meski saya rasa tidak signifikan, namun hal ini akan tetap merugikan mengingat penyerapan tenaga kerja pada industri rokok termasuk besar. Sekedar informasi, nilai multiplier dari industri rokok sangat besar yaitu sekitar 10 persen yang pada tahun 1998 menyerap 6,4 juta tenaga kerja, lalu pada tahun 2000 lebih dari 20 juta orang bergantung pada industri ini.

Selanjutnya yang perlu dikhawatirkan adalah bukan tidak mungkin dengan langkah Amerika melakukan kuota impor rokok, negara lain akan ikut melakukan kuota impor sebagai bentuk proteksi terhadap industrinya. Amerika juga merupakan negara pengekspor rokok dan melakukan kuota impor rokok, negara-negara pengekspor rokok namun masih mengimpor rokok Indonesia dalam skala lumayan besar seperti Filipina dikhawatirkan melakukan hal serupa.

Yang harus dilakukan Indonesia

Jika kita memandang proteksionisme yang merupakan cara merkantilist sebagai solusi pada saat krisis saat ini, Indonesia yang pertama dilakukan adalah melakukan lobi atau negosiasi(saat ini Mendagri Mari Elka Pangestu sedang melakukannya) dan tidak perlu melakukan proteksi terhadap barang Amerika, karena biar bagaimana pun proteksi hanya akan membuat semua negara menjadi worse off. Mengapa demikian? Ingat kasus Smooth-Hawlett Tariff sehingga akhirnya semua negara melakukan kebijakan tariff. Dalam hal kepentingan ekonomi di Amerika, cara yang paling efektif adalah dengan melakukan lobi seperti konsultan atau kamar dagang(US Chamber).

Selanjutnya jika lobi tersebut gagal, Indonesia dapat melakukan proteksi dengan melakukan kuota atau larangan impor barang Amerika. Meskipun hal ini sulit, tapi inilah cara yang harus dilakukan Indonesia seperti kasus produk melamin China dan ekspor ikan Indonesia.



[1] Roland Halim, Brand Manager (International Sales) pada redaksi Corporate Portal

Minggu, 17 Mei 2009

Politic and Incentives

People respond to incentives, merupakan quotes yang akan selalu dipegang teguh oleh makhluk ekonomi. Ya, kita akan bergerak atau melakukan sesuatu hal kalau kita bisa memperoleh sesuatu atau mendapatkan insentif. Ketika kita tidak memperoleh insentif manusia normal tidak akan tergerak hatinya untuk bergerak, gak mau repot, karena gak ada untungnya.

Hal senada juga terjadi di politik. Ternyata incentive dalam politik baik itu berupa uang atau pun yang sering diperbutkan setiap politikus (jabatan) menjadi alasan mereka untuk baku hantam dengan saudara-saudara mereka sendiri. Rasionalitas dikesampingkan dan nafsu kekuasaan dikedepankan. Sebuah anomali karena hal yang seharusnya mereka pikirkan adalah apa yang bisa mereka lakukan untuk negara bukan memikirkan jabatan apa yang mereka dapatkan.

Tetapi yang menarik adalah, ketika mereka merasa tidak mendapatkan insentif dari suatu kondisi politik, orang2 tersebut justru membentuk insentif itu sendiri. Membentuk disini berarti mencoba berbagai cara agar insentif tersebut bisa dimunculkan. Contoh, ketika Prabowo tetap bersikukuh ingin mendapatkan jabatan presiden (dalam hal ini insentif dia dalam berpolitik) dan ternyata kesempatan itu hampir hilang (pada kenyataannya hilang) sempat terpikirkan cara hebat oleh seorang prabowo. Mengganti seluruh biaya kampanye PDI-P demi kursi capres. Ingat baru capres.

Sehingga kita juga bisa membuat teori baru, khusus untuk politik insentif dalam bentuk jabatan bisa dibentuk atau dibuat secara sendirinya. Apalagi kalau bukan dengan uang. Uang mempunyai kekuatan tersendiri dalam politik dan bisa dibilang uang adalah segalanya dalam politik.

Selamat berjuang bagi para poliTIKUS, semoga kalian semua bisa memperoleh jabatan yang kalian inginkan.......

Jumat, 08 Mei 2009

Animal Insting

Ketika kasus penangkapan Ketua KPK Antasari Azhar karena dugaan pembunuhan berencana terhadap Nasrudin terkuak, negeri ini langsung gempar, kaget, terkejut. Seorang pemimpin lembaga pemberantasan korupsi ternyata memiliki sisi gelap yang jauh lebih berbahaya dari orang yang selama ini selalu diburu. Menjadi seorang manusia yang tidak lagi mendahulukan rasionalitas, namun lebih mementingkan emosi dan nafsu.

Terlepas dari belum selesainya kasus tersebut, namun kondisi ini begitu mencoreng kredibilitas negeri ini, kredibilitas para pejabat yang tak ubahnya seperti preman. Mereka bertindak anarkis, tidak mau tahu dengan keadaan sekitar dan mencari alternatif tindakan yang brutal. Layaknya binatang..

Kita semua mungkin terlahir dengan animal insting, namun mempunyai kadarnya masing-masing. Secara ekonomi, kalau kita membaca masalah behavioral economics, maka semua makhluk ekonomi akan bertindak berdasarkan insentif. Insentif itu bisa berupa Income (I), kepuasan (Leisure/L), Nafsu (passion/P) atau kebahagiaan (Happiness/H).

Pada saat sekarang, animal insting manusia lebih banyak dipengaruhi oleh faktor P dan I. Sayangnya dua hal tersebut tidak membuat mereka memperoleh peningkatan insentif pada L dan H

Mungkin sekarang kita terlahir sebagai manusia yang mempunyai animal insting yang tinggi, tetapi sudah saatnya kita juga meningkatkan behavior yang baik. Entah dengan pendidikan yang lebih tinggi atau dengan nilai spiritual yang lebih baik. Who knows....

Senin, 13 April 2009

Ketika Golput Adalah Sebuah Pilihan

Ketika Golput Adalah Sebuah Pilihan[1]

“sebuah keputusan untuk tidak memilih dapat terjadi dikarenakan informasi (berupa visi dan misi) yang diperoleh pemilih tentang calon yang akan dipilihnya tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkannya.”

Keadaan tersebut merupakan penggambaran dari sebuah teori ekonomi publik, rational ignorance[2]. Dengan asumsi bahwa tidak adanya money politics, teori tersebut menyebutkan bahwa ketika marginal cost yang dikeluarkan untuk memperoleh informasi seorang pemilih lebih dari marginal benefit, maka pemilih tersebut berhak untuk memutuskan untuk tidak memilih. Inilah yang disebut dengan rasional.

Sebenarnya istilah golongan putih (golput) muncul tahun 1970-an, mengacu pada sikap dan tindakan politik untuk tidak berpartisipasi dalam pemilihan umum Orde Baru karena dinilai tidak demokratis. Golput adalah salah satu bentuk dari protes politik. Golput merupakan refleksi ketidakpercayaan terhadap partai politik dan pemerintah Orba yang menggunakan pemilu hanya untuk melegitimasi rezim otoritarian. Golput merupakan pilihan politik bagi meraka yang merasa harus menolak pemilu rekayasa dari Orba, karena pemilunya jauh dari prinsip-prinsip luber dan jurdil.

Sebelum masuk lebih jauh, penting saya sampaikan bahwa tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk mengajak Anda mengambil tindakan golput, tapi penulis hanya ingin memberikan gambaran ada sebuah kondisi dimana golput merupakan sebuah tindakan yang rasional.

Mengapa golput?

Pada intinya golput terjadi karena kriteria calon yang ada tidak sesuai dengan apa yang Anda harapkan. Akan lebih mudah memaahami mengapa golput bisa terjadi dengan sebuah contoh. Misalkan Anda berjalan-jalan disepanjang margonda raya sewaktu masa kampanye belum memasuki masa tenang, Anda pasti akan menemukan banyak sekali atribut-atribut seperti baliho, spanduk, poster, dll yang berisi tentang caleng ataupun parpol tertentu. Atribut-atribut tersebut mempunyai tujuannya untuk memberikan informasi kepada Anda sebagai pemilih. Namun, pada kenyataannya, benda-benda tersebut sama sekali tidak memberikan sebuah informasi yang membuat Anda sebagai pemilih mau untuk memberikan suara pada calon tersebut. Anda akan banyak menemukan atribut-atribut tersebut tidak memiliki visi dan misi yang akan dibawa melainkan hal-hal lain seperti menyandingkan calon dengan tokoh nasional, keluarga, ataupun artis.

Karena Anda penasaran dengan misalnya salah satu parpol, Anda mendatangi sebuah kampanye terbuka dari salah satu parpol tersebut. Namun yang anda dapatkan justru saling menjelek-jelekkan kebikajan-kebijakan sebelumnya bukannya memaparkan visi dan misi agar Anda dapat menyesuaikan dengan perubahan apa yang Anda inginkan, maka pengorbanan yang anda keluarkan lebih besar ketimbang kepuasan yang anda dapatkan. pada kondisi inilah rational ignorance berlaku, Anda akhirnya bisa memutuskan untuk tidak memilih atau golput. Itu adalah sebuah tindakan rasional dan bagaimanapun penulis menilai bahwa didalam memilih, seseorang tidak dapat dipaksakan untuk memilih sesuatu yang tidak ia sukai.

Golput, Sebuah Inefisiensi

Pada pemilu 2009 ini, negara memberikan anggaran lebih dari 10 triliun rupiah. Ini bukan merupakan jumlah yang sedikit, oleh karena itu sangat disayangkan bila pemilu ini diwarnai oleh tingginya angka golput sebesar 67 juta suara. Ini merupakan sebuah inefisiensi anggaran negara, bayangkan berapa banyak surat suara yang sudah dicetak namun tidak terpakai begitu saja. Dan pada akhirnya, golput akan menjadi sebuah Dead Weight Loss.

Terlepas dari golput itu haram, hak warga negara, atau apa lah itu, golput menjadi fenomena menarik untuk dikaji lebih lanjuta pada pesta demokrasi. Meski presentase golput diperkirakan akan besar, namun hal tersebut tidak akan mempengaruhi keputusan pemilu, termasuk tidak bisa menunjukkan ketidakabsahan pemilu tersebut. Apabila Anda menginginkan sebuah perubahan maka kenalilah calon pilihan Anda dengan baik dan gunakanlah hak pilih Anda. Penulis juga sangat menghargai demokrasi, tapi hanya membenarkan golput pada suatu kondisi tertentu.



[1] Tulisan adalah murni Opini (Pendapat) dari Penulis ini

[2] Joseph Stiglitz, 2001, Economics of Public Sector