"Governments never learn. Only people learn."
Milton Friedman

Senin, 04 Oktober 2010

Jangan Abaikan Jaring Pengaman Sosial Dalam Menghadapi ACFTA

Permasalahan
Sebelum menandatangi hubungan kemitraan strategic CAFTA, hubungan antara China dengan ASEAN mengalami pasang surut atau fluktuatif. Dalam paper ini saya akan memfokuskan hubungan antara China dengan Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa otoritarian dengan demokrasi tidak pernah mengalami suatu hubungan harmonis secara sustainable. Pada tahun 1950 dan 1960an hubungan Indonesia dengan China memang harmonis, namun ketika kudeta oleh komunis pada tahun 1965 membuat hubungan dengan China dibekukan. Namun sejak tahun 1970, kebijakan politik luar negeri China membuat hubungan kembali membaik dengan berbagai terobosan seperti tidak mendukung pemberontakan oleh komunis di Negara lain, masalah kewarganegaraan China di negeri lain, dan keterlibatannya dalam hubungan dengan ASEAN.



Meski hubungan dengan Indonesia telah membaik, banyak perbedaan kondisi-kondisi antar kedua Negara. Diantara perbedaan itu misalnya di Indonesia terdapat UMR sedangkan China tidak; di Indonesia terdapat asosiasi buruh sedangkan di China tidak; China mempekerjakan napi sebagai buruh sedangkan Indonesia tidak; China merupakan Negara otoriter sedangkan Indonesia merupakan Negara demokrasi. Oleh karena itu banyak pihak yang menilai bahwa CAFTA akan sulit dilakukan.

Perekonomian baik yang bertumpu pada pasar maupun pemerintah memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun bedanya, proses dari sistem pasar dalam mengatasi kemiskinan berjalan lebih lambat ketimbang melalui peran pemerintah. Saat terjadi ketimpangan pasar, pemerintah harus memiliki posisi yang lebih kuat untuk membangun sebuah “Jaring Pengaman Sosial”, namun perlu digarisbawahi bahwa kebijakan ini hanya bersifat reaktif.

Sistem jaring pengaman merupakan suatu syarat keberhasilan dari free trade area. Uni Eropa membuat “Social Pact” saat mereka sepakat untuk melakukan free trade area antar sesama anggota. Saat India meliberalisasi perdagangannya, banyak pertentangan yang terjadi di dalam negeri. Dalam jangka pendek India memang mengalami dampak negatif seperti masalah penangguran dan lapangan pekerjaan, namun dalam jangka panjang nilai ekspor India mengalami peningkatan yang signifikan.

Dalam rencana penggabungan JAMSOSTEK, TASPEN, dan ASKES menjadi satu atap yaitu Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), perusahaan menolak karena dengan penggabungan itu berarti mereka arus membayar premi yang lebih besar untuk keselamatan dan kesejahteraan pekerja. Perusahaan mengatakan jika SJSN diterapkan maka daya saing akan turun. Jika kita melihat Jerman mampu membayar 30 persen, bahkan Singapura mampu membayar 40 persen untuk keselamatan dan kesejahteraan pekerjanya. Padahal jika kita melihat nilai ekspor Singapura mencapai 3 kali lipat nilai ekspor Indonesia. Ini menunjukkan bahwa produktivitas pekerja justru naik dengan adanya sistem jaminan sosial tersebut. Dengan pengalaman dari Uni Eropa dan India, Indonesia dapat belajar untuk membuat suatu skenario sebagai kebijakan seat-belt atas dampak negatif yang ditimbulkan CAFTA dalam jangka pendek.

Analisa
China-ASEAN integration seperti Uni Eropa, sayangnya, meningkatnya sistem pasar dengan free trade ASEAN tidak diikuti dengan sistem jaminan sosial seperti di Eropa. Kita membuka diri tanpa punya suatu pengaman, kondisi ini membuat ancaman dampak negatif free trade yaitu kemiskinan akan meningkat. Pengentasan kemiskinan akan sangat lambat apabila dilakukan hanya melalui program-program Ad Hoc (program yang hanya sekedar manuver politik) tanpa melalui suatu institusional. Di Indonesia, program pengentasan kemiskinan yang sejak tahun 2004 merupakan proram-program bersifat jangka pendek dimana bentuknya berupa direct kepada masyarakat. Program tidak dirancang untuk jangka panjang dimana pemberdayaan, pelatihan, dan tambahan modal lebih digiatkan demi kemandirian rakyat (tahun 2007 baru PNPM yang muncul sebagai kebijakan pengentasan kemiskinan jangka menengah).

Peningkatan anggaran memang menurunkan kemiskinan, namun sayangnya perubahan tersebut tidak proporsional jika dilihat dari slopenya. Anggaran pengentasan kemiskinan terus naik berlipat ganda namun angka kemiskinan hanya sedikit mengalami penurunan. Jika kita membandingkan dengan penurunan angka kemiskinan di negara-negara ASEAN dan China, penurunannya sangat cepat dan signifikan.

Sistem pasar tidak dapat ditolak, free trade harus ada, namun jaring pengaman sosial juga harus ada, built in, dan fair. Jaring pengaman sosial yang built in lebih merupakan social protection seperti jaminan hari tua dan pendidikan, oleh karena itu harus ada mekanisme bahwa dimana pun orang miskin berada harus tetap dilayani. Dari segi pendanaan, harus ada lembaga khusus yang menangani ASKES, JAMSOSTEK, dan TASPEN (saat ini proses penggabungan menjadi satu atap yaitu SJSN sedang dalam taap pembahasan). Dengan begitu pembiayaan akan menjadi jelas dan tidak terpisah, serta sasaran pasarnya mencakup semua orang (tidak segmented terhadap golongan tertentu). Masalah yang kemudian muncul adalah banyaknya tenaga kerja di Indonesia yang bekerja di sektor informal mencapai 70 persen. Dalam sektor informal tidak ada sistem gaji sehingga tidak bisa dipotong untuk jaminan sosial. Oleh karena itu, sistem jaminan sosial yang mencakup sektor informal menjadi syarat keberhasilan.

Konsekuensi dari sistem pasar adalah peranan sektor nontradable meningkat, sebaliknya peranan sektor tradable justru turun. Padahal penyerapan tenaga kerja di sektor nontradable formal sedikit, sedangkan yang tidak tertampung akan masuk ke sektor nontradable informal yaitu perdagangan. Karena deindustrialisasi, akan ada sebagian orang yang tidak tertampung di sektor nontradable modern dan industri manufaktur, kemudian orang ini akan kembali ke sektor pertanian. Proses ini membuat ketimpangan dan kesenjangan meningkat dan pada akhirnya koefisien Gini akan naik.

Kelas menengah yang kuat sangat penting bagi suatu negara untuk perkembangan politik yang modern, sementara itu kelas menengah yang kuat hanya akan terbentuk dari pembangunan yang seimbang (tidak deindustrialisasi). Dalam kasus deindustrialisasi di atas (manufaktur turun, pertanian naik), produktivitas sektor pertanian akan menurun dan mengakibatkan kelas menengah di Indonesia tidak akan kuat. Jika dibandingkan dengan negara lain, kelas menengah kuat disebabkan karena terdiri dari buruh di sektor industri sehingga proses industrialisasi tidak boleh terganggu.

Kecenderungan deindustrialisasi di Indonesia perlu diwaspadai, jika melihat kontribusi ekspor manufaktur dalam total ekspor sejak tahun 2004 menurun hingga tahun 2007. Padahal dalam peranannya terhadap GDP, sektor manufaktur selalu menyumbang diatas 20 persen sejak tahun 2004 sampai dengan 2008. Dengan liberalisasi perdagangan, dimana sektor manufaktur akan turun dan sektor pertanian akan naik, tentu hal ini akan berdampak pada GDP Indonesia.

Pada akhirnya sering dilupakan bahwa kebijakan liberalisasi perdagangan ini dijalankan seiring dengan kebijakan untuk menggalang kerjasama ekonomi regional. Kebijaksanaan ini didasarkan pada keyakinan bahwa setiap Negara akan mendapatkan hasil yang lebih baik apabila melakukan integrasi ekonomi ini secara bersama-sama daripada sendiri-sendiri. Kerjasama regional hanya membantu memperkuat, tetapi tidak dapat menggantikan upaya-upaya “nasional” seperti dibidang politik, ekonomi, dan sosial yang harus dilaksanakan agar mampu mengambil bagian dalam proses CAFTA ini. Di Indonesia, free trade area dilaksanakan dari atas yang bersifat “state-centric” atau terpusat pada Negara. Artinya, unit analisanya adalah Negara dan bukan manusia (penduduk, masyarakat, rakyat). Free trade area yang berhasil dan langgeng adalah yang berasal dari bawah, dengan kata lain terbukanya peluang pemberdayaan masyarakat, karena peran masyarakat warga (civil society) sangat penting sementara kelembagaan sosial politik di Indonesia masih sangat lemah seperti sekarang ini.
Pembentukan free trade area memiliki tujuan untuk meningkatkan akses pasar bagi anggotanya , Indonesia juga memiliki peluang untuk meningkatkan akses pasar yang luas ke China serta melakukan transfer teknologi melalui proses learning by doing.

Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, terdapat beberapa dampak dari perjanjian CAFTA. Masalah tersebut antara lain masalah ketenagakerjaan seperti system jaminan sosial, pertambahan angka kemiskinan berdasarkan studi di berbagai Negara berkembang hingga deindustrialisasi dengan perpindahan tenaga kerja. Oleh karena itu sistem jaminan sosial yang ada saat ini perlu diperbaiki. Seperti halnya di Indonesia, saat ini Social Pact di Eropa sedang dalam tahap perumusan kembali karena masih ada pihak-pihak yag belum tercakup di dalamnya seperti perempuan, imigran, dan sektor informal. Job promotion merupakan suatu hal krusial untuk pertumbuhan ekonomi untuk sistem jaminan social di masa depan. Selain itu Social Pact juga membahas masalah unstable employment, part time dan temporary work, unemployment, dan gaji rendah yang membuat tidak bisa pensiun dengan keadaan yang memadai.