"Governments never learn. Only people learn."
Milton Friedman

Rabu, 12 November 2008

Impossible is nothing

Impossible is Nothing

Ketika Amerika Serikat melaksanakan pemilihan presiden yang ke 44 ada hal menarik yang bisa menjadi sebuah sejarah bagi perpolitikan di Amerika Serikat. Seorang calon presiden kulit hitam yang menjadi presiden negara adidaya tersebut. Ketika dunia luar masih menganggap AS sebagai negara yang rasis, kenyataannya justru berkebalikan. Seorang anak menteng yang bernama Barrack Obama bisa menjadi presiden kulit hitam pertama AS. Seperti apa yang dicita-citakan oleh Marthin Luter King Jr. dalam pidato yang sangat menggugah yang berjudul “I Have a Dream”.

Ketika Obama akhirnya menang mutlak atas pesaingnya John McCain, semua dunia merasa gembira. Obama dianggap sebagai seorang pemimpin global. Presiden milik semua dunia karena latar belakang yang dia miliki. Keturunan pertama dari pernikahan campuran pada generasinya. Ayahnya seorang Afrika, ibu yang merupakan orang Amerika asli. Pernah bersekolah di Jakarta dan juga mempunyai banyak saudara dari keluarga yang mempunyai campuran ras yang sangat kompleks.

Setelah ratusan tahun perpolitikan AS, baru kali ini seorang kulit hitam bisa menjadi presiden negara adidaya tersebut. Dia bisa memecahkan sebuah tradisi yang mengharuskan pemimpin mereka adalah seorang kulit putih. Tapi dia bisa mematahkan anggapan tersebut, sehingga sebuah hal yang tidak mungkin akhirnya bisa terjadi dengan begitu luar biasa.

Mempelajari bagaimana Obama bisa menghempaskan tradisi Amerika Serikat, kita pun bisa bermimpi bahwa nantinya negeri ini bisa maju. Setelah dijajah begitu lama oleh kolonialisme Belanda dan Jepang, dan sekarang dijajah oleh kemiskinan, kebodohan dan kelaparan. Sudah saatnya kita melawan itu semua dan menjadikan negeri ini menjadi sebuah negara besar.

Negara yang menjunjung tinggi persatuan dan kemajuan bangsa. Negara yang sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat dibandingkan kesejahteraan golongan tertentu. Negara yang tidak lagi dilecehkan oleh negara lain. Negara yang bisa menunjukkan integritas mereka dimata asing. Itulah yang dinamakan negara besar.

Sekarang bisakah kita menjadikan semua mimpi tersebut menjadi sebuah kenyataan. Tentunya bisa, karena pesawat baru bisa muncul dari sebuah mimpi Wright bersaudara. Lampu bisa ditemukan karena Edison bermimpi. Apakah mimpi 220 juta rakyat Indonesia untuk memajukan negerinya bisa tercapai. Saya bisa menjawab pertanyaan tersebut. BISA. Tetapi apakah momen tersebut muncul pada generasi kita saat ini atau harus menunggu 250 tahun, seperti warga kulit hitam Amerika yang harus menunggu selama 250 tahun untuk dipimpin oleh seorang kulit hitam.

Senin, 13 Oktober 2008

INDONESIA DAN ANAK YANG TERLANTAR

"Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”

Begitu bunyi pasal 34 konstitusi negara kita. Kata-kata itu memang terdengar agung dan terkesan mulia untuk diucapkan. Tuntutan tanggung jawab negara akan warganya terutama anak-anak kecil seakan-akan terasa amat besar. Bahkan tanggung jawab yang dimaksud termasuk pada golongan anak yang berasal dari keluarga kurang mampu. Bila melihat pasal ini, tidak ada yang menyangkal jika dikatakan bangsa ini sangat peduli pada kehidupan ’wong cilik’.

Realita memang tidak selalu berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Disadari atau tidak, negara ini justru membuat jurang yang lebih luas antara si kaya dan si miskin yang berdampak pada keadaan anak yang dimiliki. Tidak ada yang salah dengan pasal 34 UUD1945 yang tertera di atas, yang jelas, kemiskinan – salah satu penyebab di antara faktor-faktor lainnya – telah mengakibatkan penderitaan-penderitaan yang harus dialami anak-anak di negeri ini. Mereka yang seharusnya melewati masa kanak-kanak dengan ceria terpaksa menanggung segala penderitaan hidup. Kasus ibu yang menjual keperawanan anaknya, anak-anak kecil ngamen di jalanan, atau pengemis dan penjual-penjual koran yang berkeliaran (termasuk di FEUI) hanyalah segilintir kisah yang menbuat kita miris tinggal di negri ini. Lalu, siapa yang harus disalahkan? Ketika polisi penolong berubah menjadi pemerkosa yang sadis; ketika guru pengayom berubah menjadi binatang pengikut hawa nafsu; ketika keluguan anak menjadi lahan eksploitasi demi meraup keuntungan, sekalipun itu hanya untuk kepentingan sendiri.

Anak-anak selalu menjadi korban kekejian manusia dewasa. Pelanggaran HAM anak semakin meningkat dan tidak tahu sampai kapan berakhir. Dunia mencatat kita sebagai salah satu negara dengan pelanggaran hak anak tertinggi. Orang Indonesia yang terkenal santun dan berakhlak mulia kini terlihat seperti binatang-binatang buas yang siap menerkam mangsanya. Sekali lagi, bocah-bocah itu menjadi korbannya.

Indonesia, negeri yang ditempati anak-anak malang ini bukanlah negeri yang buruk, setidaknya tanah dan airnya subur dan makmur. Hasil alam yang dimiliki tentu cukup untuk menghidupi perut-perut lapar yang ada. Akan tetapi, ruang-ruang dalam negeri ini dirasa oleh mereka sebagai sekat-sekat yang menyesakkan dada. Sistem sosial dan ekonomi di negeri ini berpihak pada keserakahan dan cenderung diskriminatif, sehingga orang yang kaya melejit jauh sedangkan yang miskin tertinggal di landasan. Sementara sistem politiknya berpihak pada kekuasaan, sehingga program kemanusiaan seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dimaknai sebagai arogansi penguasa dan dipersepsi untuk kemenangan dan gemerlap politik pemerintah. Ujung-ujungnya, pedagang asongan, pengamen, dan pemulung mesti minggir dan ditepikan. Hal ini cenderung membuat semakin banyak anak-anak Indonesia yang tidak mampu melanjutkan pendidikan akibat ketidakmampuan orang tua mereka. Bahkan untuk mencukupi kebutuhan gizi saja, mereka hanya bisa bergantung pada bantuan orang lain.

Dimana berdiri ’sang negara’ yang seharusnya berkewajiban melindungi bocah-bocah lugu ini? Saat anak-anak ini butuh perlindungan agar dapat hidup layak, pemerintah asyik dengan kegiatan sendiri yang menguntungkan baginya. Dengan mengatasnamakan rakyat, mereka mengeruk kekayaan yang mungkin hanya dapat dilakukan ketika memegang suatu jabatan. Peraturan yang tertulis pada konstitusi Pasal 34 UUD 1945 itu hanya sebuah janji manis dari pemerintah. Terlalu manis didengar, namun perih untuk dirasakan. Dan untuk kesekian kalinya, rakyat Indonesia terutama anak-anak kecil harus menjadi korban.