"Governments never learn. Only people learn."
Milton Friedman

Senin, 13 April 2009

Ketika Golput Adalah Sebuah Pilihan

Ketika Golput Adalah Sebuah Pilihan[1]

“sebuah keputusan untuk tidak memilih dapat terjadi dikarenakan informasi (berupa visi dan misi) yang diperoleh pemilih tentang calon yang akan dipilihnya tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkannya.”

Keadaan tersebut merupakan penggambaran dari sebuah teori ekonomi publik, rational ignorance[2]. Dengan asumsi bahwa tidak adanya money politics, teori tersebut menyebutkan bahwa ketika marginal cost yang dikeluarkan untuk memperoleh informasi seorang pemilih lebih dari marginal benefit, maka pemilih tersebut berhak untuk memutuskan untuk tidak memilih. Inilah yang disebut dengan rasional.

Sebenarnya istilah golongan putih (golput) muncul tahun 1970-an, mengacu pada sikap dan tindakan politik untuk tidak berpartisipasi dalam pemilihan umum Orde Baru karena dinilai tidak demokratis. Golput adalah salah satu bentuk dari protes politik. Golput merupakan refleksi ketidakpercayaan terhadap partai politik dan pemerintah Orba yang menggunakan pemilu hanya untuk melegitimasi rezim otoritarian. Golput merupakan pilihan politik bagi meraka yang merasa harus menolak pemilu rekayasa dari Orba, karena pemilunya jauh dari prinsip-prinsip luber dan jurdil.

Sebelum masuk lebih jauh, penting saya sampaikan bahwa tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk mengajak Anda mengambil tindakan golput, tapi penulis hanya ingin memberikan gambaran ada sebuah kondisi dimana golput merupakan sebuah tindakan yang rasional.

Mengapa golput?

Pada intinya golput terjadi karena kriteria calon yang ada tidak sesuai dengan apa yang Anda harapkan. Akan lebih mudah memaahami mengapa golput bisa terjadi dengan sebuah contoh. Misalkan Anda berjalan-jalan disepanjang margonda raya sewaktu masa kampanye belum memasuki masa tenang, Anda pasti akan menemukan banyak sekali atribut-atribut seperti baliho, spanduk, poster, dll yang berisi tentang caleng ataupun parpol tertentu. Atribut-atribut tersebut mempunyai tujuannya untuk memberikan informasi kepada Anda sebagai pemilih. Namun, pada kenyataannya, benda-benda tersebut sama sekali tidak memberikan sebuah informasi yang membuat Anda sebagai pemilih mau untuk memberikan suara pada calon tersebut. Anda akan banyak menemukan atribut-atribut tersebut tidak memiliki visi dan misi yang akan dibawa melainkan hal-hal lain seperti menyandingkan calon dengan tokoh nasional, keluarga, ataupun artis.

Karena Anda penasaran dengan misalnya salah satu parpol, Anda mendatangi sebuah kampanye terbuka dari salah satu parpol tersebut. Namun yang anda dapatkan justru saling menjelek-jelekkan kebikajan-kebijakan sebelumnya bukannya memaparkan visi dan misi agar Anda dapat menyesuaikan dengan perubahan apa yang Anda inginkan, maka pengorbanan yang anda keluarkan lebih besar ketimbang kepuasan yang anda dapatkan. pada kondisi inilah rational ignorance berlaku, Anda akhirnya bisa memutuskan untuk tidak memilih atau golput. Itu adalah sebuah tindakan rasional dan bagaimanapun penulis menilai bahwa didalam memilih, seseorang tidak dapat dipaksakan untuk memilih sesuatu yang tidak ia sukai.

Golput, Sebuah Inefisiensi

Pada pemilu 2009 ini, negara memberikan anggaran lebih dari 10 triliun rupiah. Ini bukan merupakan jumlah yang sedikit, oleh karena itu sangat disayangkan bila pemilu ini diwarnai oleh tingginya angka golput sebesar 67 juta suara. Ini merupakan sebuah inefisiensi anggaran negara, bayangkan berapa banyak surat suara yang sudah dicetak namun tidak terpakai begitu saja. Dan pada akhirnya, golput akan menjadi sebuah Dead Weight Loss.

Terlepas dari golput itu haram, hak warga negara, atau apa lah itu, golput menjadi fenomena menarik untuk dikaji lebih lanjuta pada pesta demokrasi. Meski presentase golput diperkirakan akan besar, namun hal tersebut tidak akan mempengaruhi keputusan pemilu, termasuk tidak bisa menunjukkan ketidakabsahan pemilu tersebut. Apabila Anda menginginkan sebuah perubahan maka kenalilah calon pilihan Anda dengan baik dan gunakanlah hak pilih Anda. Penulis juga sangat menghargai demokrasi, tapi hanya membenarkan golput pada suatu kondisi tertentu.



[1] Tulisan adalah murni Opini (Pendapat) dari Penulis ini

[2] Joseph Stiglitz, 2001, Economics of Public Sector