"Governments never learn. Only people learn."
Milton Friedman

Senin, 22 Juni 2009

Porn and Economics

Tertarik dengan sebuah perbincangan warung kopi bersama kedua teman saya yang salah satunya mengikuti lomba debat tentang wacana pornografi dan economic growth. Karena merasa penasaran, maka saya mencoba browsing dan mencari fakta-fakta tentang hal tersebut dan hasilnya fantastis.

Underground economics memang secara cultural memberikan dampak negative, namun tidak dengan pertumbuhan ekonomi. Di Italia yang terkenal dengan mafianya, underground economics-nya ternyata tiga kali lipat lebih besar dibandingkan legal economics (dilihat dari GDP). Setidaknya ada tiga bisnis underground economics yang sangat besar yaitu human trafficking, drugs, dan porn business. Bayangkan saja bila anak-anak yang dijual menghasilkan USD 12 miliar per tahun, bisnis mariyuana di Trinidad senilai USD 1 miliar per tahun (namun saya tidak menyarankan hal ini meskipun Aceh memiliki potensi ini).

Mungkin kedua bisnis tersebut memang bertentangan dengan aspek kemanusiaan, namun bagaimana dengan bisnis pornografi di Amerika yang mencapai USD 10 miliar per tahun (Bill Asher, President of Vivid Entertainment Group) atau bisnis pornografi sebesar USD 5,5 miliar per tahun di Jepang.

Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Belanda, Rusia dengan porn rate-nya yang tinggi terbukti dapat memberikan profit yang besar. Mungkin terdapat sebuah korelasi positif antara pornografi dengan pertumbuhan ekonomi, kita bisa melihat sebuah negara yang sedang ‘gila-gilaan’ bereksplorasi dengan industri pornografinya yaitu China yang pertumbuhan ekonominya juga sedang ‘gila-gilaan’.

Pornografi sama seperti pajak yang memiliki behavioral effect. Jika pajak digunakan to reduce spending power, pornografi dapat dijadikan meningkatkan spending power melalui berbagai cara seperti prostitusi, video porno, internet, dan lainnya. Perubahan perilaku ini yang secara cultural memicu perputaran uang yang lebih besar.

Mungkin pornografi dapat dijadikan sebuah instrument fiscal untuk meningkatkan konsumsi yang turun pada saat krisis seperti ini. Cukup bermodalkan model dan sebuah kamera video lalu upload ke internet untuk memulai perputaran uang yang besar. Bill Asher mengemukakan kunci untuk meraup keuntungan adalah dengan teknologi yaitu bagaimana suatu video dapat dilihat tanpa bisa di-copy. Semua itu adalah trade off antara pertumbuhan ekonomi dengan dampaknya pada perubahan cultural, namun cukup tepat untuk dipertimbangkan sebagai sebuah alternative secara pribadi.

Minggu, 21 Juni 2009

Perspektif Baru Neoliberalisme

Alan Greenspan mengakui bahwa sistem yang selama ini dia agung-agungkan merupakan sebuah sistem yang cacat. Sistem kapitalisme dianggap banyak pihak, bahkan greenspan sendiri sebagai suatu sistem yang memiliki banyak kekurangan. Namun pada akhirnya sistem yang dibuat oleh manusia tidak akan sesempurna sistem yang diciptakan Tuhan.

Sebuah tulisan yang ditulis seorang profesor dari Michigan University mengatakan bahwa bagaimana pun kapitalisme merupakan sebuah mesin ekonomi yang sangat produktif

A few years from now, strange
as it may sound, we might all find that we are hungry for more
capitalism, not less. An economic crisis slows growth, and when
countries need growth, they turn to markets.



Sebuah buku yang berjudul A Capitalist Manifesto (Fareed Zakaria:2009) juga menjelaskan bahwa sistem sekarang yang berlaku adalah sebuah sistem yang cacat, namun tetaplah menjadi pilihan utama karena kemampuannya menyerap kapital. Sehingga untuk saat sekarang ini sistem ini masilah menjadi pilihan utama.

Namun kelemahan sistem tersebut juga dijelaskan didalam tulisan Prof Perry bahwa:

Capitalism means growth, but also instability. The system is dynamic and inherently prone to crashes that cause great damage along the way.


Tetapi diakhir tulisannya dia mengatakan bahwa krisis ini bukan dikarenakan sistem kapitalisme tetapi berbagai faktor lainnya

What we are experiencing is not a crisis of capitalism. It is a crisis of finance, of democracy, of globalization and ultimately of ethics.


Tulisan-tulisan tersebut memberikan sebuah perspektif baru tentang isu neolib atau pro pasar yang berkembang selama ini.

Ada yang pro atau kontra dengan tulisan mereka?

Jumat, 19 Juni 2009

Debt: Opportunity or Trap? Or Who Must take The Blame?

Baru saja mengikuti diskusi menarik (KANTIN IE), menyoal utang negara "apakah menguntungkan atau merugikan". Tiba-tiba saja moderator menunjuk ke arah seorang pemuda canggung yang baru datang. Mukanya jelas tampak tidak siap, sementara sebelumnya perdebatan melibatkan data, statistik, rasio, dan istilah-istilah macam "LOI", "agenda asing", IMF, "kepentingan Barat", tinggallah pemuda itu kebingungan. Alih-alih berpendapat ia malah bercerita:

" Ada seorang tukang nasgor (nasi goreng) miskin yang selama ini berjualan di pinggir jalan dengan modal seadanya. Gubuk sederhana, sebuah kompor minyak tua, dan topi penahan terik matahari. Suatu saat sahabat kita ingin menambah modal (baca: utang) pada temannya yang cukup kaya. Temannya bersedia, jumlah 3 juta bukan masalah besar . Namun, sang sahabat tukang nasgor ini mengajukan syarat bahwa ia harus mengganti kompor minyak tua dengan kompor gas ber-LPG.

Menurut sahabat kaya kita ini LPG membuat masakan cepat matang dan intinya lebih efisien, ia menjelaskan bahwa di rumahnya dengan kompor gas, masakan sejenis tersaji lebih cepat dan lebih baik , eh maaf, lebih banyak. Teman kita tukang nasgor ini menyanggupi dan tampak puas. Singkatnya uang dipinjam dan segera ia mengganti kompor tuanya dengan kompor gas. Tak lama berselang tersiar kabar tukang nasgor itu terkena musibah, kompor gasnya meledak. Rupanya ia tidak terlalu paham penggunaan dan perawatan gas LPG. Dengan latar gubuk yang tinggal sisa-sisa, tukang nasgor merenung..."

Siapakah yang harus disalahkan?

Menurut Anda?

Senin, 01 Juni 2009

Neo-liberalisme dan Jilbab

Melihat politik kampanye bangsa Indonesia, adalah cermin kondisi sosial masyarakat kita. Tiba-tiba saja masyarakat Indonesia alergi dengan neo-liberalisme (entah mereka paham atau tidak), tiba-tiba salah satu istri capres tampil ke depan publik menggunakan kain sebagai penutup kepalanya. Yang ada adalah kekikukan dan latah pada masyarakat dan politisi kita. Lalu, mengapa harus Neo-Liberalisme dan Jilbab?

Sederhana, ekonomi dan agama. Memang pada urusan perut dan akhirat lah hampir seluruh hidup manusia termaknai. Tidak heran isu ekonomi dan agama masih efektif dalam mempengaruhi (menakut-nakuti?) masyarakat Indonesia. Neo-Liberalisme itu jahat, tidak berjilab itu neraka. Kekanak-kanakan? Mungkin, tapi itulah kenyataan masyarakat Indonesia. Bukan mengkerdilkan masyarakat Indonesia bagai bocah yang tak tau apa-apa. Tapi sayangnya politisi kita memang pintar memanfaatkan keadaan. Alih-alih mengadakan diskusi panel terbuka soal apa itu liberalisme (tentu diskusi yang berimbang), alih-alih mengedepankan isu toleransi agama, alih-alih mendidik, politisi kita memilih membodohkan masyarakat kita. Mereka paham benar bahwa sebagian besar masyarakat sangat sensitif terhadap kedua isu tersebut. Jangan pilih yang Neo-Lib, pilih yang berjilbab.

Yang perlu disesalkan tidak lain realita kampanye masih berupa kampanye agresif, saling-serang. Sedikit sekali pemaparan visi dan misi, cuma dagelan menjurus black champaign yang kontraproduktif. Mereka bilang ini bagian pembelajaran politik dan demokrasi yang masih muda. Semoga benar begitu, dan semoga bangsa ini banyak belajar.