"Governments never learn. Only people learn."
Milton Friedman

Sabtu, 19 Februari 2011

(Jangan) Paksa Kami Nonton Film Nasional

Baru-baru ini dunia perfilman Indonesia dibuat heboh. Bukan karena sineas dalam negeri memproduksi film porno (lagi). Bukan pula disebabkan rumah produksi dalam negeri yang mampu melahirkan film-film sekelas Inception, Avatar, atau The King's Speech. Indonesia heboh bukan karena film kita memenangkan penghargaan bergengsi sekelas Oscar atau Golden Globe. Melainkan karena hilangnya peredaran film-film Hollywood.

Melalui dunia maya, Indonesia ribut karena para penikmat film luar negeri (khususnya film-film top Hollywood) tidak akan bisa lagi menikmati tontonan berkelas dari Negeri Paman Sam. Pasalnya Motion Picture Association of America (MPAA) dan Ikatan Perusahaan Film Indonesia (Ikapifi) menolak kebijakan Direktorat Jendral Bea Cukai yang menerapkan bea masuk atas hak distribusi film impor. kebijakan ini menjadikan Indonesia sebagai satu-satunya negara yang menerapkan kebijakan ini. Padahal sebelumnya para distributor ini telah dikenai pajak sebesar 23,75% dari nilai barang. Akibat kebijakan tersebut Ikapifi memutuskan untuk tidak mengimpor film luar negeri. Sementara MPAA menolak untuk mendistribusikan film-film produksi Hollywood ke Indonesia.

Tulisan ini berusaha untuk tidak terjebak ke dalam UU dsb yang mestinya lebih dimengerti oleh anak hukum. Akan tetapi kondisi ini menjadi lebih menarik jika kita menariknya ke dalam analisa ekonomi sederhana yang selalu dipelajari dalam ECON 101, konsep Supply, Demand, serta Tax. Kebijakan pemerintah yang menetapkan bea masuk atas hak distribusi tentunya menjadi salah satu Tax dan Trade Barriers dalam teori Ekonomi International. Tidak usah terlalu jauh membahasnya sampai ke Teori Hecksher-Ohlin, dsb karena dengan menggunakan perangkat Supply Demand saja kita bisa mengerti bahwa kebijakan ini akan merugikan banyak pihak.

Dengan adanya bea masuk atas hak distribusi, seharusnya konsumen yang paling dirugikan. Karena sama halnya dengan Cukai Rokok, pajak tersebut pada akhirnya dibebankan kepada para konsumen. Akan tetapi dengan adanya langkah MPAA dan Ikapifi menarik film-film mereka dari peredaran, maka ada keterbatasan Supply film di bioskop-bioskop nasional, katakanlah 21 dan Blitzmegaplex.

Ketika bioskop-bioskop tidak memperoleh pasokan film luar negeri, maka mereka tentunya berharap banyak kepada film dalam negeri. Sayangnya dalam waktu satu tahun hanya ada 60-70 judul film yang diproduksi. Film-film tersebut (sayangnya) mempunyai kualitas film yang jauh panggang dari api. Tipikalnya sama semua, masukkan unsur-unsur mistis dan sedikit adegan vulgar. Jadilah film yang siap ditonton. Kalau pun ingin membuat film mistis, buatlah yang benar-benar berkualitas. Mungkin ada banyak hal yang melandasi para produser untuk menjual hantu dan tet*k di bioskop.

Ketika jumlah film yang (bisa) ditayangkan berkurang serta kualitas film yang sangat buruk, maka konsumen film akan mengurungkan niat untuk datang ke bioskop. Permintaan pecinta film yang elastis tentunya berpengaruh sangat besar terhadap kondisi ini. Mereka memilih menggunakan uang mereka untuk membeli DVD bajakan atau download lewat internet. Bioskop lagi-lagi mengalami kerugian, supply film yang kurang dan permintaan terhadap film dalam negeri yang semakin menurun menyebabkan bioskop-bioskop bisa bangkrut. Jika bioskop bangkrut (jumlahnya mencapai 500an), pekerjanya pun akan jadi pengangguran. Begitu banyak distorsi yang terjadi dari sisi produsen (bioskop), penggemar film, dan para pekerja.

Siapa yang diuntungkan disini? Jika para penjual DVD bajakan jeli, mereka bisa mengambil pangsa pasar yang sangat besar. Harga DVD bajakan atau pun original akan naik. Pemerintah juga akan beruntung, karena pajak tentunya menjadi uang masuk bagi mereka. Terakhir, para sineas dalam negeri yang akan kehilangan saingan. Jika mereka bisa memproduksi film dengan bagus, bisa jadi penonton Indonesia akan tertarik untuk menyisihkan sedikit uangnya untuk menonton mahakarya anak bangsa.

Tapi, tulisan ini tidak berhenti di sini. Jika pada akhirnya kita memang "dipaksa" untuk menonton film dalam negeri, apakah kebijakan tersebut efektif? Jika benar bioskop-bioskop tersebut kekurangan supply dan pada akhirnya bangkrut, dimana film-film nasional ini akan diputar? Di ruang-ruang kelas atau di ruang-ruang seminar? Sama saja kan. Dengan berbaik sangka saya yakin pemerintah ingin memajukan film nasional, akan tetapi kalau bioskopnya ditutup, para sineas dalam negeri juga akan ikut gulung tikar.

Jadi, bagi Menkeu, Dirjen Pajak, dan Dirjen Bea Cukai, ada baiknya kebijakan ini diperhatikan dengan seksama. Kalau memang ingin menambah pemasukan negara, apakah harus dengan mengorbankan banyak pihak? (Jangan) Paksa kami menonton film nasional karena untuk bisa menikmati film tergantung dari selera penonton dan kualitas film. Bukan karena ini ciptaan anak bangsa atau tidak.

Mencoba Hal baru

Sebelumnya saya minta maaf untuk kualitas tulisan pendek ini kepada teman-teman Rumah Economica dan pembacanya. Lama tidak menulis, terutama topik ekonomi, ternyata bersifat menumpulkan kemampuan. Jadi setelah membaca posting ini, segeralah menulis biar tidak tumpul seperti saya.

Ide tulisan ini muncul ketika membaca buku Indonesia Economic Outlook 2001, terbitan FEUI. Saya langsung tertarik pada bagian "Potensi Bisnis Global", alasannya Pak Willem Makaliwe, dkk. sedang membahas soal India dan China. Dari dulu, kalau sudah soal India dan China, entah kenapa syaraf otak selalu tergoda untuk mencari tahu apa saja tentang mereka. Kenapa? Singkatnya, saya setuju dengan pendapat di luar sana, bahwa China dan India adalah "keajaiban" ekonomi.

Soal betapa "ajaib mereka (baca: pertumbuhan ekonomi), bisa dicari di referensi yang lebih baik dari blog ini. Yang paling menarik dari tulisan di buku IEO 2011 tadi, adalah soal bagaimana India dan China diperbandingkan satu lawan satu dalam beberapa aspek.

Saya coba jelaskan singkat, dengan mengutip twiter saya sendiri beberapa minggu yang lalu. India dan China tumbuh dengan cara mereka masing-masing. Unsur perencanaan masi kuat di China, termasuk strategi "picking winner". India lebih bebas tapi berhati-hati dengan Penanaman Modal Asing. Yang mencolok China membangun ekonomi di atas jalan raya antar provinsi yang panjang dan lebar dan subsidi industri yang besar juga. India membangun ekonomi dengan mengundang tamu dari Amerika Serikat dan Eropa dengan tangan terbuka di Bangalore. Sekaligus, menjadi operator call center bagi perusahaan-perusahaan besar mereka, dengan membiarkan jalan-jalan pedesaan tetap berlubang.

Untuk semakin mempersingkat tulisan, yang terlintas dipikiran setelah membaca tulisan tersebut cuma pertanyaan 'bagaimana dengan di Indonesia?' Atau lebih spesifik "Indonesia harus menjadi yang mana?' Jawabannya tentu seru untuk didiskusikan,

Saya memilih India. Oke, liberalisasi perdagangan dan berhati-hati terhadap PMA saya setuju, tapi ada hal lain yang saya lebih setuju. Entah kenapa dari dulu saya yakin potensi Sumber Daya Manusia di Indonesia melebihi potensi Sumber Daya Alamnya. Beranjak dari sini, sekali lagi saya setuju dengan India menyoal pembangunan industri dengan fokus "soft infrastructure"

Lucu juga, padahal hampir semua seminar ekonomi yang saya ikuti selalu memarahi pemerintah soal infrastruktur. Bangun jalan, pelabuhan, dan sebagainya maka ekonomi meningkat. Semuanya benar. Sayang nya pemerintah kesulitan, tentu kesulitan uang maksudnya. Sisihkan soal korupsi, mengurusi negara dengan luas daerah dan kontur topografi rumit seperti Indonesia bukan perkara mudah. Butuh ahli bendungan Belanda, konstruksi Jerman, atau teknologi termutakhir Amerika Serikat dan pekerja "rela tak dibayar" China untuk membangun infrastruktur tangguh. Tentu itu mahal.

Kenapa tidak ambil cara India? Si ahli pencetak entrepreneur di bidang IT. Toh di Indonesia siswa sekolahan juga bisa membuat antivirus. Tukang bajak software juga betaburan. SMADAV termasuk antivirus yang disegani. Dan, infratuktur untuk teknologi informasi relatif murah dari pada membangun jalan. Kita bisa mengatasi lautan dan pegunungan dengan satu hal, internet.

Apakah ini mungkin? Bisa saja. Industri kreatif sangat sukar mati dan bisa tumbuh dimana-mana tanpa banyak perlu bantuan pemerintah.

Sebelum menutup, tentu ada variabel penting lain untuk mencuri sukses India. Kunci itu bernama pendidikan, dan untuk hal ini sulit mencari jalan instan. Perhatian soal pendidikan sangat penting, termasuk mendorong keterbukaan institusi pendidikan Indonesia dengan dunia luar. Hal itu butuh intervensi pemerintah.

Kesimpulannya, mungkin skenario ini bisa ditawarkan dan dicoba pemerintah. Setidaknya, sekedar dibaca saja. Terima kasih

Kamis, 17 Februari 2011

Liberalisasi Untuk Mengatasi Harga Pangan

Harga komoditas primer sejak terjadi oil boom pada tahun 2005 membuat harga komoditas tambang juga meningkat dan kemudian sempat mengalami penurunan kembali pada tahun 2008 karena adanya krisis. Setelah krisis pulih harga komoditas primer kembali mengalami tren kenaikan, bahkan harga komoditas pertanian yang sebelumnya relatif stabil pun mulai merangkak naik sejak tahun 2009 dan mencapai puncaknya pada akhir tahun 2010. Kondisi ini mendorong ekspektasi inflasi sehingga Bank Indonesia kembali menaikkan suku bunga untuk menjaga laju pertumbuhan inflasi. Lambatnya intervensi pemerintah dalam menjaga stabilitas harga pangan ikut menambah kekhawatiran pasar sehingga berdampak negatif terhadap perekonomian.

Rakyat miskin semakin terbebani dengan harga pangan yang meningkat, terutama kalangan pedagang makanan. Tidak seperti pedagang di pasar yang dapat menetapkan harga berbeda setiap harinya, pedagang makanan tidak dapat menyesuaikan harga dengan cepat karena takut kehilangan konsumen (price rigidity). Untuk ke depannya, Indonesia perlu belajar dari Rusia dengan tidak menggantungkan pangannya kepada Negara lain. Hal ini dilakukan Rusia karena awalnya ketersediaan pangan awalnya sangat bergantung dari Negara lain sehingga mengalami krisis pangan pada tahun 1990-an. Sejak itu Rusia membangun sektor pertaniannya secara besar-besaran untuk menghindari ketergantungan pangan.

Berbagai permasalah di bidang hukum yang tidak kunjung selesai belakangan ini seolah mengalihkan pandangan kita dari permasalahan ekonomi yang sedang dihadapi Indonesia. Tingginya harga komoditas terutama cabai menyulitkan masyarakat. Pemerintah telah mengeluarkan sembilan solusi untuk atasi lonjakan harga pangan yaitu pendekatan dari hilir ke hulu, kebijakan fiskal khusus untuk pangan, supply dalam negeri diminta untuk dapat memenuhi permintaan nasional, cadangan makanan di BULOG harus kuat, peningkatan produktivitas pangan, ketahanan pangan dari tingkat keluarga, pencegahan penyelundupan pangan, prediksi pangan harus akurat, dan regulasi untuk pengamanan lahan pertanian. Tentu kita semua berharap agar solusi tersebut berhasil dijalankan sehingga tercapai stabilitas harga pada tahun ini.

Lonjakan harga pangan tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan di berbagai Negara lain karena cuaca ekstrem di berbagai Negara dan mengakibatkan inflasi meningkat dengan cepat. Wacana liberalisasi pangan untuk menangani harga pangan yang melonjak pun muncul, termasuk dari Presiden World Bank, Robert Zoellick. Harga pangan yang tinggi membuat beberapa Negara khawatir dan memutuskan untuk menetapkan larang ekspor komoditas pangan khususnya kebutuhan pokok. Tentunya hal ini akan memperburuk keadaan bagi Negara-negara yang kesulitan pangan dan justru semakin mendongkrak harga pangan.

Tentunya wacana liberalisasi pangan juga perlu diperhatikan. Belajar dari krisis pangan pada tahun 2008 dimana akibat musim panas di Rusia, Vladimir Putin menghentikan ekspor gandum sementara karena takut kembali terjadi krisis pangan. Beberapa Negara juga melakukan hal yang sama karena khawatir terjadi kekurangan pasokan, namun justru terjadi krisis pangan. Oleh karena itu Negara-negara yang tergabung dalam G20 didesak untuk memprioritaskan permasalahan ini dengan menghapus larangan ekspor. Melalui G20, Indonesia dapat berperan dalam mengatasi permasalahan global ini. Dengan terbukanya ekspor pangan, maka akses kepada Negara-negara yang kesulitan pangan menjadi lebih mudah sehingga diharapkan harga pangan akan kembali stabil. Oleh karena itu, jangan terus terpana oleh permasalahan lain dalam negeri yang tidak kunjung terselesaikan. Secepatnya kita harus memperbaiki stok pangan untuk tahun ini dan merevitalisasi lagi fungsi BULOG sebagai stabilisator harga pangan.

Senin, 04 Oktober 2010

Jangan Abaikan Jaring Pengaman Sosial Dalam Menghadapi ACFTA

Permasalahan
Sebelum menandatangi hubungan kemitraan strategic CAFTA, hubungan antara China dengan ASEAN mengalami pasang surut atau fluktuatif. Dalam paper ini saya akan memfokuskan hubungan antara China dengan Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa otoritarian dengan demokrasi tidak pernah mengalami suatu hubungan harmonis secara sustainable. Pada tahun 1950 dan 1960an hubungan Indonesia dengan China memang harmonis, namun ketika kudeta oleh komunis pada tahun 1965 membuat hubungan dengan China dibekukan. Namun sejak tahun 1970, kebijakan politik luar negeri China membuat hubungan kembali membaik dengan berbagai terobosan seperti tidak mendukung pemberontakan oleh komunis di Negara lain, masalah kewarganegaraan China di negeri lain, dan keterlibatannya dalam hubungan dengan ASEAN.



Meski hubungan dengan Indonesia telah membaik, banyak perbedaan kondisi-kondisi antar kedua Negara. Diantara perbedaan itu misalnya di Indonesia terdapat UMR sedangkan China tidak; di Indonesia terdapat asosiasi buruh sedangkan di China tidak; China mempekerjakan napi sebagai buruh sedangkan Indonesia tidak; China merupakan Negara otoriter sedangkan Indonesia merupakan Negara demokrasi. Oleh karena itu banyak pihak yang menilai bahwa CAFTA akan sulit dilakukan.

Perekonomian baik yang bertumpu pada pasar maupun pemerintah memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun bedanya, proses dari sistem pasar dalam mengatasi kemiskinan berjalan lebih lambat ketimbang melalui peran pemerintah. Saat terjadi ketimpangan pasar, pemerintah harus memiliki posisi yang lebih kuat untuk membangun sebuah “Jaring Pengaman Sosial”, namun perlu digarisbawahi bahwa kebijakan ini hanya bersifat reaktif.

Sistem jaring pengaman merupakan suatu syarat keberhasilan dari free trade area. Uni Eropa membuat “Social Pact” saat mereka sepakat untuk melakukan free trade area antar sesama anggota. Saat India meliberalisasi perdagangannya, banyak pertentangan yang terjadi di dalam negeri. Dalam jangka pendek India memang mengalami dampak negatif seperti masalah penangguran dan lapangan pekerjaan, namun dalam jangka panjang nilai ekspor India mengalami peningkatan yang signifikan.

Dalam rencana penggabungan JAMSOSTEK, TASPEN, dan ASKES menjadi satu atap yaitu Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), perusahaan menolak karena dengan penggabungan itu berarti mereka arus membayar premi yang lebih besar untuk keselamatan dan kesejahteraan pekerja. Perusahaan mengatakan jika SJSN diterapkan maka daya saing akan turun. Jika kita melihat Jerman mampu membayar 30 persen, bahkan Singapura mampu membayar 40 persen untuk keselamatan dan kesejahteraan pekerjanya. Padahal jika kita melihat nilai ekspor Singapura mencapai 3 kali lipat nilai ekspor Indonesia. Ini menunjukkan bahwa produktivitas pekerja justru naik dengan adanya sistem jaminan sosial tersebut. Dengan pengalaman dari Uni Eropa dan India, Indonesia dapat belajar untuk membuat suatu skenario sebagai kebijakan seat-belt atas dampak negatif yang ditimbulkan CAFTA dalam jangka pendek.

Analisa
China-ASEAN integration seperti Uni Eropa, sayangnya, meningkatnya sistem pasar dengan free trade ASEAN tidak diikuti dengan sistem jaminan sosial seperti di Eropa. Kita membuka diri tanpa punya suatu pengaman, kondisi ini membuat ancaman dampak negatif free trade yaitu kemiskinan akan meningkat. Pengentasan kemiskinan akan sangat lambat apabila dilakukan hanya melalui program-program Ad Hoc (program yang hanya sekedar manuver politik) tanpa melalui suatu institusional. Di Indonesia, program pengentasan kemiskinan yang sejak tahun 2004 merupakan proram-program bersifat jangka pendek dimana bentuknya berupa direct kepada masyarakat. Program tidak dirancang untuk jangka panjang dimana pemberdayaan, pelatihan, dan tambahan modal lebih digiatkan demi kemandirian rakyat (tahun 2007 baru PNPM yang muncul sebagai kebijakan pengentasan kemiskinan jangka menengah).

Peningkatan anggaran memang menurunkan kemiskinan, namun sayangnya perubahan tersebut tidak proporsional jika dilihat dari slopenya. Anggaran pengentasan kemiskinan terus naik berlipat ganda namun angka kemiskinan hanya sedikit mengalami penurunan. Jika kita membandingkan dengan penurunan angka kemiskinan di negara-negara ASEAN dan China, penurunannya sangat cepat dan signifikan.

Sistem pasar tidak dapat ditolak, free trade harus ada, namun jaring pengaman sosial juga harus ada, built in, dan fair. Jaring pengaman sosial yang built in lebih merupakan social protection seperti jaminan hari tua dan pendidikan, oleh karena itu harus ada mekanisme bahwa dimana pun orang miskin berada harus tetap dilayani. Dari segi pendanaan, harus ada lembaga khusus yang menangani ASKES, JAMSOSTEK, dan TASPEN (saat ini proses penggabungan menjadi satu atap yaitu SJSN sedang dalam taap pembahasan). Dengan begitu pembiayaan akan menjadi jelas dan tidak terpisah, serta sasaran pasarnya mencakup semua orang (tidak segmented terhadap golongan tertentu). Masalah yang kemudian muncul adalah banyaknya tenaga kerja di Indonesia yang bekerja di sektor informal mencapai 70 persen. Dalam sektor informal tidak ada sistem gaji sehingga tidak bisa dipotong untuk jaminan sosial. Oleh karena itu, sistem jaminan sosial yang mencakup sektor informal menjadi syarat keberhasilan.

Konsekuensi dari sistem pasar adalah peranan sektor nontradable meningkat, sebaliknya peranan sektor tradable justru turun. Padahal penyerapan tenaga kerja di sektor nontradable formal sedikit, sedangkan yang tidak tertampung akan masuk ke sektor nontradable informal yaitu perdagangan. Karena deindustrialisasi, akan ada sebagian orang yang tidak tertampung di sektor nontradable modern dan industri manufaktur, kemudian orang ini akan kembali ke sektor pertanian. Proses ini membuat ketimpangan dan kesenjangan meningkat dan pada akhirnya koefisien Gini akan naik.

Kelas menengah yang kuat sangat penting bagi suatu negara untuk perkembangan politik yang modern, sementara itu kelas menengah yang kuat hanya akan terbentuk dari pembangunan yang seimbang (tidak deindustrialisasi). Dalam kasus deindustrialisasi di atas (manufaktur turun, pertanian naik), produktivitas sektor pertanian akan menurun dan mengakibatkan kelas menengah di Indonesia tidak akan kuat. Jika dibandingkan dengan negara lain, kelas menengah kuat disebabkan karena terdiri dari buruh di sektor industri sehingga proses industrialisasi tidak boleh terganggu.

Kecenderungan deindustrialisasi di Indonesia perlu diwaspadai, jika melihat kontribusi ekspor manufaktur dalam total ekspor sejak tahun 2004 menurun hingga tahun 2007. Padahal dalam peranannya terhadap GDP, sektor manufaktur selalu menyumbang diatas 20 persen sejak tahun 2004 sampai dengan 2008. Dengan liberalisasi perdagangan, dimana sektor manufaktur akan turun dan sektor pertanian akan naik, tentu hal ini akan berdampak pada GDP Indonesia.

Pada akhirnya sering dilupakan bahwa kebijakan liberalisasi perdagangan ini dijalankan seiring dengan kebijakan untuk menggalang kerjasama ekonomi regional. Kebijaksanaan ini didasarkan pada keyakinan bahwa setiap Negara akan mendapatkan hasil yang lebih baik apabila melakukan integrasi ekonomi ini secara bersama-sama daripada sendiri-sendiri. Kerjasama regional hanya membantu memperkuat, tetapi tidak dapat menggantikan upaya-upaya “nasional” seperti dibidang politik, ekonomi, dan sosial yang harus dilaksanakan agar mampu mengambil bagian dalam proses CAFTA ini. Di Indonesia, free trade area dilaksanakan dari atas yang bersifat “state-centric” atau terpusat pada Negara. Artinya, unit analisanya adalah Negara dan bukan manusia (penduduk, masyarakat, rakyat). Free trade area yang berhasil dan langgeng adalah yang berasal dari bawah, dengan kata lain terbukanya peluang pemberdayaan masyarakat, karena peran masyarakat warga (civil society) sangat penting sementara kelembagaan sosial politik di Indonesia masih sangat lemah seperti sekarang ini.
Pembentukan free trade area memiliki tujuan untuk meningkatkan akses pasar bagi anggotanya , Indonesia juga memiliki peluang untuk meningkatkan akses pasar yang luas ke China serta melakukan transfer teknologi melalui proses learning by doing.

Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, terdapat beberapa dampak dari perjanjian CAFTA. Masalah tersebut antara lain masalah ketenagakerjaan seperti system jaminan sosial, pertambahan angka kemiskinan berdasarkan studi di berbagai Negara berkembang hingga deindustrialisasi dengan perpindahan tenaga kerja. Oleh karena itu sistem jaminan sosial yang ada saat ini perlu diperbaiki. Seperti halnya di Indonesia, saat ini Social Pact di Eropa sedang dalam tahap perumusan kembali karena masih ada pihak-pihak yag belum tercakup di dalamnya seperti perempuan, imigran, dan sektor informal. Job promotion merupakan suatu hal krusial untuk pertumbuhan ekonomi untuk sistem jaminan social di masa depan. Selain itu Social Pact juga membahas masalah unstable employment, part time dan temporary work, unemployment, dan gaji rendah yang membuat tidak bisa pensiun dengan keadaan yang memadai.

Minggu, 16 Mei 2010

Saya Hanyalah Seorang Filsuf Gadungan

Menjadi seorang ekonom di Indonesia sepertinya bukanlah sebuah pekerjaan yang menjanjikan. Masih banyak orang yang tidak tahu siapa sebenarnya ekonom itu, apa yang mereka kerjakan, dan kenapa mereka harus ada? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan selalu dibahas oleh orang-orang awam yang menganggap bahwa tanpa adanya ekonom pun ekonomi kita bisa berjalan dengan baik. Buktinya kebanyakan para menteri-menteri kita dibidang ekonomi sebagian besar diisi oleh para politikus yang tidak mempunyai background ekonomi yang mumpuni.

Jangankan menjadi menteri, untuk menjadi seorang ekonom yang membutuhkan kepekaan dan analisa ekonomi yang tajam sungguhlah tidaklah mudah. Hal-hal yang sepele seperti opportunity cost bisa saja dipandang secara berbeda-beda oleh mereka yang menganggap diri mereka sendiri sebagai ekonom. Padahal sebenarnya tidak sesimple itu pekerjaan seorang ekonom.

Kita melihat banyak sekali orang yang mengaku sebagai seorang ekonom, tetapi konsep dasar ekonomi saja mereka tidak paham. Bagaiman cara berpikir ekonomi yang sebenarnya pun seperti masih sulit mereka cerna. Kebanyakan ekonom gadungan sekarang lebih paham politik, mengaitkan sejarah, membuka sumber dari wikipedia, dan menambah sedikit kata-kata ekonomi yang familiar didengar orang.

Memang fungsi seorang ekonom adalah mempermudah atau menyaring satu hal yang complicated menjadi hal suatu kalimat yang bisa dipahami oleh tukang becak sekalipun. Tetapi kebanyakan sekarang para ekonom gadungan ini justru semakin memutarbalikkan logika berpikir ekonomi serta membuat ekonomi menjadi sesuatu yang membingungkan dengan bahasa yang ekonom sendiri pun jarang mendengarnya. Tidak sedikit pula yang pada akhirnya justru mempermudah masalah seenak jidat mereka.

Jika kita membaca buku karangan Daniel Hamermesh yang berjudul Economics is everywhere dan Economic Naturalist karangan Robert H. Frank sungguh sebenarnya ekonomi itu adalah sesuatu hal yang membutuhkan analisa dan konsep dasar yang sangat kuat. Banyak kondisi yang mempunyai bermancam-macam solusi. Bahkan diantara para ekonom sendiri pun akan menghasilkan jawaban yang berbeda.

Inilah yang seharusnya disadari sejak awal oleh para ekonom gadungan ini. Lebih menjadi seorang filsuf gadungan seperti saya yang bisa ngomong seberat dan setinggi mungkin asalkan tidak merusak alur berpikir orang awam. Lebih indah menjadi seorang filsuf gadungan yang kalau salah pun tidak akan dipermasalahkan orang karena tidak akan ada yang dirugikan. Bahkan lebih baik menjadi seorang filsuf gadungan, karena kebijakan yang kami buat hanyalah bagaimana caranya agar dunia ini bisa dibedah lewat pemikiran-pemikiran yang terlihat agak keren.

Minggu, 21 Maret 2010

Mulai dari Bibit-Chandra Sampai Obama, Habis Ini Apalagi

Beberapa bulan yang lalu atau lebih tepatnya diakhir tahun 2009, Indonesia digemparkan dengan kasus Bibit-Chandra. Entah karena kasus yang mereka buat atau perlakuan yang mereka dapatkan, namun masalah ini diperbincangkan oleh hampir semua elemen masyarakat. Mulai dari pemulung hingga petinggi negeri ini heboh.

Banyak yang kontra namun tidak sedikit pula yang mendukung proses hukum yang harus dijalani oleh Bibit-Chandra. Alasan mereka sederhana, didalam payung hukum tidak ada yang memperoleh perlakuan istimewa. Apakah mereka Presiden, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, atau hanya masyarakat biasa.

Okelah masalah ini telah selesai, namun ternyata kehebohan yang terjadi di Indonesia tidak berhenti disana. Ada kasus yang digadang-gadangkan bakal mirip dengan kasus Watergate di AS. Beberapa saat setelah kasus Bibit-Chandra selesai muncullah kasus century. Negeri ini begitu heboh siang malam membahas polemik ini. Media tak henti-hentinya menjadikan masalah Century menjadi Headline utama mereka. Seolah-olah hidup kita cuma menyangkut masalah Century.

Akibat dari Centurygate wannabe ini, banyak pihak yang menuntut pihak-pihak yang terkait untuk mundur. Bahkan adanya wacana pemakzulan presiden ikut meramaikan kasus ini. Media lagi-lagi memanfaatkan momen ini untuk mendapatkan rating yang tinggi. Hal yang bisa membedakan mana yang benar dan salah sudah menjadi sesuatu yang abu-abu. Kita bahkan tidak tahu mana yang benar dan mana yang memanfaatkan kesempatan dari kasus ini.

Century telah usai (di lingkup DPR), dimana DPR merekomendasikan agar kasus ini dibawa ke ranah hukum dan diselesaikan berdasarkan hukum yang berlaku. Kita berharap agar kasus ini bisa segera diselesaikan. Siapa yang bersalah harus kita hukum dan mereka yang benar harus diapresiasi oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Century usai, adalagi masalah pro kontra kedatangan Presiden ke-44 AS, Barrack Hussein Obama. Ada kelompok masyarakat yang secara jumlah termasuk kelompok minoritas menentang kedatangan Obama. Padahal kita tahu bahwa Obama datang kesini dalam rangka kunjungan dan melepas kerinduannya terhadap negeri yang pernah ditinggalinya selama empat tahun. Kelompok yang kontra menganggap bahwa Obama merupakan pemipin sebuah negara yang telah menimbulkan penderitaan bagi masyarakat Irak dan Afghanistan, namun apabila kita menggunakan akal sehat dan rasionalitas sebagai seorang manusia, hendaknya kita paham bahwa Obama telah berusaha untuk menyelesaikannya. Penjara Guantanamo dalam waktu dekat akan segera ditutup. Pasukan di Irak juga akan ditarik, hanya pasukan di Afghanistan yang masih tetap bertahan. Itupun karena keinginan Afghanistan sendiri.

Memang Obama tidak jadi datang dan diundur menjadi bulan Juni. Namun lagi-lagi kita harus menghadapi masa-masa yang sama ketika para penentang Obama kembali berteriak menyangkut penolakan mereka terhadap kedatangan Obama.

Masalah Obama juga telah selesai. Lantas apalagi masalah yang akan mendatangi Indonesia. Menurut hemat saya, si "Rising Star" Susno Duaji mulai mendatangkan makanan baru bagi media dan masyarakat Indonesia. Tokoh yang kita kenal sebagai penyebab terjadinya kasus Cicak dan Buaya ini sekarang memunculkan sebuah isu baru. Dia membocorkan masalah makelar kasus dikalangan petinggi Polri.

Dalam waktu dekat kasus ini mungkin akan memenuhi headline-headline di media cetak dan elektronik. Kita belum bisa mengetahui dan mengatakan siapa yang benar dan siapa yang salah, namun hendaknya kita membaca lagi awal dari tulisan ini. Bahwa pernah terjadi kasus kriminalisasi petinggi KPK. Dan otak dibalik itu semua adalah Susno Duaji. Dalam sebuah tweet di twitter saya pernah menggambarkan Susno Duaji sebagai "From Susno to Hero". Mungkin ada yang menyebutnya sebagai "Buaya Putih", tapi ada baiknya kita melihat kembali rekam jejak beliau. Tidak ada asap yang ditimbulkan tanpa didahului oleh sebuah kobaran api. Dan mungkin ada makna dibalik manuver Si Buaya Putih ini. Tinggal kita lihat saja bagaimana akhir dari cerita ini.

Kamis, 07 Januari 2010

Antara Politik, Ekonomi, dan Hukum

Disaat orang-orang ribut masalah kriminalisasi KKP, skandal Centura, dan pansus-pansus Dewan Parpol Kolot, saya tidak mau ambil pusing untuk menyikapi kasus-kasus tersebut. Terkadang saya sendiri masih heran kenapa orang-orang itu banyak omong merasa lebih pinter dari Profesor atau pejabat-pejabat Bank Penguasa. Banyak ekonom-ekonom kelas karbit tiba-tiba muncul dengan analisa murahan menyatakan bahwa Menteri Duit telah melakukan kesalahan. Jika saya jadi mereka, tentu saya akan malu berbicara dan mengeluarkan pertanyaan tidak penting seperti itu kepada Profesor. Kebetulan salah satu dari pejabat Bank Penguasa itu adalah dosen saya di Universitas Tanah Air, ia sering bercerita dan menggerutu seputar kebodohan dan ketidaktahuan Dewan Parpol Kolot. Ia pernah bercerita :

“Waktu pertama saya dipanggil, saya ketawa-ketawa karena pertanyaan mereka lucu-lucu dan tidak penting tetapi setelah itu mereka marah dan bilang saya tidak sopan. Akhirnya keesokannya saya diam aja. Kalian jangan jadi seperti mereka yang tidak tahu apa yang mereka omongin ya.”

Akhir-akhir ini kita dihadapkan dengan persoalan hukum yang tidak pernah beres di negeri ini. Mulai dari kasus Antaburi Aar, Soson Buadji, dan yang terakhir yang saya lihat adalah kasus kecelakaan lalu lintas di Selo. Saya pun mulai muak dan sedikit mencurahkan unek-unek ini karena mirip dengan kejadian yang pernah saya dan teman-teman alami sewaktu pulang dari Ujung Keramik.

Kasus kecelakaan lalu lintas di Selo bermula dari sepasang suami istri naik motor dan ‘katanya’ tiba-tiba sang suami rem mendadak yang mengakibatkan istrinya terpental dan menabrak mobil Pantha. Kemudian di persidangan, sang suami divonis telah melakukan kelalaian yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang yaitu istrinya. Konyol sekali jika membayangkan dan tentu bodoh jika mempercayai ada seorang suami yang tega melakukan itu.

Dari keterangan pengacara suami, diketahuilah informasi bahwa pemilik mobil Pantha tersebut adalah anggota Sipoli. Ia menyatakan bahwa mobil tersebut lah yang menabrak motor mereka dan menyebabkan kematian sang istri.

Saya tidak heran dengan kasus ini dan percaya pada keterangan pengacara karena saya pun pernah mengalami hal yang sama. Kejadian bermula ketika kami pulang dari daerah Ujung Keramik dan ditabrak oleh mobil yang dikendarai oleh ibu yang buru-buru datang rapat sehingga ia melewati batas marka jalan. Hal pertama yang ibu itu lakukan adalah menelpon anaknya yang merupakan anggota Sipoli di daerah itu. Lalu kami dibawa menuju kantor Sipoli dan supir kami pun dicoba untuk dijebak dan disalahkan dengan cara memeriksa SIM dan STNK, tipuan gambar, penyalahgunaan wewenang mobil dinas, dll. Sementara si ibu tidak tersentuh dari pemeriksaan, padahal sampai sekarang tidak jelas apakah ia memiliki SIM atau tidak. Beruntung Kepala Sipoli Daerah tersebut merupakan orang yang jujur dan saya salut kepadanya yang berani memarahi tingkah laku anak buahnya.

Terinspirasi dari perkataan Aman Raus salah satu tokoh politik Negara ini tadi pagi, kurang lebih ia berkata :

Dulu ketika Nabi Isa melewati tempat wanita yang akan dirajam, ia menyuruh orang yang belum pernah melakukan zina sebagai yang pertama melempari wanita tersebut, namun apa yang terjadi adalah tidak ada satupun yang memulai untuk melempari wanita itu. Ini berarti semua orang itu pernah melakukan zina. Sama seperti kasus di Negara ini ketika ada masalah, baik KKP, Sipoli, The Jack, dan Mr. Pres pun tidak ada yang berani memulai.”

Mudah-mudahan masih ada dari kita yang belum pernah melakukan zina yang berani untuk melempari yang salah. Seperti sebuah quotes menarik, The first lesson of economics is scarcity : There is never enough of anything to satisfy all those who want it. The first lesson of politics is to disregard the first lesson of economics. Kondisi ini akan lebih parah bila penegak hukum pun masih tidak bisa berdiri dengan jati diri yang seharusnya.