"Governments never learn. Only people learn."
Milton Friedman

Senin, 13 Oktober 2008

INDONESIA DAN ANAK YANG TERLANTAR

"Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”

Begitu bunyi pasal 34 konstitusi negara kita. Kata-kata itu memang terdengar agung dan terkesan mulia untuk diucapkan. Tuntutan tanggung jawab negara akan warganya terutama anak-anak kecil seakan-akan terasa amat besar. Bahkan tanggung jawab yang dimaksud termasuk pada golongan anak yang berasal dari keluarga kurang mampu. Bila melihat pasal ini, tidak ada yang menyangkal jika dikatakan bangsa ini sangat peduli pada kehidupan ’wong cilik’.

Realita memang tidak selalu berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Disadari atau tidak, negara ini justru membuat jurang yang lebih luas antara si kaya dan si miskin yang berdampak pada keadaan anak yang dimiliki. Tidak ada yang salah dengan pasal 34 UUD1945 yang tertera di atas, yang jelas, kemiskinan – salah satu penyebab di antara faktor-faktor lainnya – telah mengakibatkan penderitaan-penderitaan yang harus dialami anak-anak di negeri ini. Mereka yang seharusnya melewati masa kanak-kanak dengan ceria terpaksa menanggung segala penderitaan hidup. Kasus ibu yang menjual keperawanan anaknya, anak-anak kecil ngamen di jalanan, atau pengemis dan penjual-penjual koran yang berkeliaran (termasuk di FEUI) hanyalah segilintir kisah yang menbuat kita miris tinggal di negri ini. Lalu, siapa yang harus disalahkan? Ketika polisi penolong berubah menjadi pemerkosa yang sadis; ketika guru pengayom berubah menjadi binatang pengikut hawa nafsu; ketika keluguan anak menjadi lahan eksploitasi demi meraup keuntungan, sekalipun itu hanya untuk kepentingan sendiri.

Anak-anak selalu menjadi korban kekejian manusia dewasa. Pelanggaran HAM anak semakin meningkat dan tidak tahu sampai kapan berakhir. Dunia mencatat kita sebagai salah satu negara dengan pelanggaran hak anak tertinggi. Orang Indonesia yang terkenal santun dan berakhlak mulia kini terlihat seperti binatang-binatang buas yang siap menerkam mangsanya. Sekali lagi, bocah-bocah itu menjadi korbannya.

Indonesia, negeri yang ditempati anak-anak malang ini bukanlah negeri yang buruk, setidaknya tanah dan airnya subur dan makmur. Hasil alam yang dimiliki tentu cukup untuk menghidupi perut-perut lapar yang ada. Akan tetapi, ruang-ruang dalam negeri ini dirasa oleh mereka sebagai sekat-sekat yang menyesakkan dada. Sistem sosial dan ekonomi di negeri ini berpihak pada keserakahan dan cenderung diskriminatif, sehingga orang yang kaya melejit jauh sedangkan yang miskin tertinggal di landasan. Sementara sistem politiknya berpihak pada kekuasaan, sehingga program kemanusiaan seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dimaknai sebagai arogansi penguasa dan dipersepsi untuk kemenangan dan gemerlap politik pemerintah. Ujung-ujungnya, pedagang asongan, pengamen, dan pemulung mesti minggir dan ditepikan. Hal ini cenderung membuat semakin banyak anak-anak Indonesia yang tidak mampu melanjutkan pendidikan akibat ketidakmampuan orang tua mereka. Bahkan untuk mencukupi kebutuhan gizi saja, mereka hanya bisa bergantung pada bantuan orang lain.

Dimana berdiri ’sang negara’ yang seharusnya berkewajiban melindungi bocah-bocah lugu ini? Saat anak-anak ini butuh perlindungan agar dapat hidup layak, pemerintah asyik dengan kegiatan sendiri yang menguntungkan baginya. Dengan mengatasnamakan rakyat, mereka mengeruk kekayaan yang mungkin hanya dapat dilakukan ketika memegang suatu jabatan. Peraturan yang tertulis pada konstitusi Pasal 34 UUD 1945 itu hanya sebuah janji manis dari pemerintah. Terlalu manis didengar, namun perih untuk dirasakan. Dan untuk kesekian kalinya, rakyat Indonesia terutama anak-anak kecil harus menjadi korban.