"Governments never learn. Only people learn."
Milton Friedman

Senin, 18 Mei 2009

FDA Bill in USA Versus Cigarette Export in Indonesia

FDA Bill in USA Versus Cigarette Export in Indonesia

”Food and Drug Administration (FDA) Bill, pasal 907, menyatakan larangan terdapat flavour pada produk rokok, untuk menekan kebiasaan merokok pada anak2 di bawah umur, dan yang tidak dikategorikan sebagai flavour hanyalah tembakau dan menthol.”

Rokok memang selalu mengundang perdebatan yang panjang, selalu ada yang pro dan kontra. Namun, kali ini terlepas dari problem dalam negeri, kini kita beralih ke isu tentang kuota impor rokok flavour dan kretek di Amerika Serikat. Baru-baru ini, komite senat Amerika Serikat menyetujui legitimasi rancangan UU aturan lembaga Administrasi Makanan dan Obat Amerika (Food and Drug Administration/FDA) atau FDA Bill. Rokok dengan flavour seperti menthol dan cengkeh dianggap lebih berbahaya dibandingkan rokok tanpa cengkeh buatan mereka seperti Malboro.

FDA Bill yang pertama kali diusulkan Senator Judd Gregg pada 2003 ini kemudian diwacanakan lagi oleh Senator Kennedy (Massachusetts) dan De Wine (Ohio) pada 2004. Dan pada Maret 2005, rancangan FDA Bill ini kembali diusulkan. FDA Bill tentu akan sangat merugikan ekspor rokok kretek Indonesia, karena Amerika merupakan salah satu negara tujuan ekspor yang besar bagi Indonesia. Dengan volume nilai ekspor rokok kretek sebesar US$ 282,2 juta pada tahun 2006 atau sekitar Rp 2,6 triliun. Dengan kata lain, industri rokok menyumbang devisa yang cukup besar bagi Indonesia.

Bentuk Proteksionisme

Rokok kretek di Amerika mempunyai sekitar 10-15 persen dari pasar rokok kretekdi negara tersebut, dan dari 10-15 persen tersebut, 95 persennya dikuasai oleh Djarum lalu sisanya dikuasai lainnya termasuk Gudang Garam dengan harga jual rata-rata US$ 6 per bungkus[1]. Ini merupakan salah satu bentuk proteksionisme pemerintah Amerika terhadap industri rokoknya. Berikut ini saya lampirkan tabel sederhana untuk membuktikannya dengan penurunan konsumsi rokok

Amerika Utara........................................20%

Australia dan Selandia Baru........................15%

Eropa Barat............................................8%

Seiring dengan terpuruknya sejumlah industri akibat krisis global, konsumsi rokok juga tercatat mengalami penurunan termasuk di Amerika Utara sebesar 20 persen. Wilayah Amerika Utara menjadi yang paling signifikan mengalami penurunan dibandingkan daerah atau wilayah lainnya.

Dampaknya terhadap Indonesia

Dengan disetujuinya FDA Bill, kuota impor akan membuat produksi dan harga rokok Amerika meningkat. Indonesia akan dirugikan dan ini akan menurunkan nilai ekspor rokok Indonesia, itu berarti Djarum yang selama ini mengekspor 7,5 juta batang perhari harus mengurangi ekspor rokoknya. Di dalam ekonomi kita tahu bahwa turunnya konsumsi akan diiringi dengan turunnya produksi dan akan dilakukan efisiensi dengan mengurangi faktor produksi, dengan kata lain akan ada pengurangan jumlah pekerja. Meski saya rasa tidak signifikan, namun hal ini akan tetap merugikan mengingat penyerapan tenaga kerja pada industri rokok termasuk besar. Sekedar informasi, nilai multiplier dari industri rokok sangat besar yaitu sekitar 10 persen yang pada tahun 1998 menyerap 6,4 juta tenaga kerja, lalu pada tahun 2000 lebih dari 20 juta orang bergantung pada industri ini.

Selanjutnya yang perlu dikhawatirkan adalah bukan tidak mungkin dengan langkah Amerika melakukan kuota impor rokok, negara lain akan ikut melakukan kuota impor sebagai bentuk proteksi terhadap industrinya. Amerika juga merupakan negara pengekspor rokok dan melakukan kuota impor rokok, negara-negara pengekspor rokok namun masih mengimpor rokok Indonesia dalam skala lumayan besar seperti Filipina dikhawatirkan melakukan hal serupa.

Yang harus dilakukan Indonesia

Jika kita memandang proteksionisme yang merupakan cara merkantilist sebagai solusi pada saat krisis saat ini, Indonesia yang pertama dilakukan adalah melakukan lobi atau negosiasi(saat ini Mendagri Mari Elka Pangestu sedang melakukannya) dan tidak perlu melakukan proteksi terhadap barang Amerika, karena biar bagaimana pun proteksi hanya akan membuat semua negara menjadi worse off. Mengapa demikian? Ingat kasus Smooth-Hawlett Tariff sehingga akhirnya semua negara melakukan kebijakan tariff. Dalam hal kepentingan ekonomi di Amerika, cara yang paling efektif adalah dengan melakukan lobi seperti konsultan atau kamar dagang(US Chamber).

Selanjutnya jika lobi tersebut gagal, Indonesia dapat melakukan proteksi dengan melakukan kuota atau larangan impor barang Amerika. Meskipun hal ini sulit, tapi inilah cara yang harus dilakukan Indonesia seperti kasus produk melamin China dan ekspor ikan Indonesia.



[1] Roland Halim, Brand Manager (International Sales) pada redaksi Corporate Portal

Minggu, 17 Mei 2009

Politic and Incentives

People respond to incentives, merupakan quotes yang akan selalu dipegang teguh oleh makhluk ekonomi. Ya, kita akan bergerak atau melakukan sesuatu hal kalau kita bisa memperoleh sesuatu atau mendapatkan insentif. Ketika kita tidak memperoleh insentif manusia normal tidak akan tergerak hatinya untuk bergerak, gak mau repot, karena gak ada untungnya.

Hal senada juga terjadi di politik. Ternyata incentive dalam politik baik itu berupa uang atau pun yang sering diperbutkan setiap politikus (jabatan) menjadi alasan mereka untuk baku hantam dengan saudara-saudara mereka sendiri. Rasionalitas dikesampingkan dan nafsu kekuasaan dikedepankan. Sebuah anomali karena hal yang seharusnya mereka pikirkan adalah apa yang bisa mereka lakukan untuk negara bukan memikirkan jabatan apa yang mereka dapatkan.

Tetapi yang menarik adalah, ketika mereka merasa tidak mendapatkan insentif dari suatu kondisi politik, orang2 tersebut justru membentuk insentif itu sendiri. Membentuk disini berarti mencoba berbagai cara agar insentif tersebut bisa dimunculkan. Contoh, ketika Prabowo tetap bersikukuh ingin mendapatkan jabatan presiden (dalam hal ini insentif dia dalam berpolitik) dan ternyata kesempatan itu hampir hilang (pada kenyataannya hilang) sempat terpikirkan cara hebat oleh seorang prabowo. Mengganti seluruh biaya kampanye PDI-P demi kursi capres. Ingat baru capres.

Sehingga kita juga bisa membuat teori baru, khusus untuk politik insentif dalam bentuk jabatan bisa dibentuk atau dibuat secara sendirinya. Apalagi kalau bukan dengan uang. Uang mempunyai kekuatan tersendiri dalam politik dan bisa dibilang uang adalah segalanya dalam politik.

Selamat berjuang bagi para poliTIKUS, semoga kalian semua bisa memperoleh jabatan yang kalian inginkan.......

Jumat, 08 Mei 2009

Animal Insting

Ketika kasus penangkapan Ketua KPK Antasari Azhar karena dugaan pembunuhan berencana terhadap Nasrudin terkuak, negeri ini langsung gempar, kaget, terkejut. Seorang pemimpin lembaga pemberantasan korupsi ternyata memiliki sisi gelap yang jauh lebih berbahaya dari orang yang selama ini selalu diburu. Menjadi seorang manusia yang tidak lagi mendahulukan rasionalitas, namun lebih mementingkan emosi dan nafsu.

Terlepas dari belum selesainya kasus tersebut, namun kondisi ini begitu mencoreng kredibilitas negeri ini, kredibilitas para pejabat yang tak ubahnya seperti preman. Mereka bertindak anarkis, tidak mau tahu dengan keadaan sekitar dan mencari alternatif tindakan yang brutal. Layaknya binatang..

Kita semua mungkin terlahir dengan animal insting, namun mempunyai kadarnya masing-masing. Secara ekonomi, kalau kita membaca masalah behavioral economics, maka semua makhluk ekonomi akan bertindak berdasarkan insentif. Insentif itu bisa berupa Income (I), kepuasan (Leisure/L), Nafsu (passion/P) atau kebahagiaan (Happiness/H).

Pada saat sekarang, animal insting manusia lebih banyak dipengaruhi oleh faktor P dan I. Sayangnya dua hal tersebut tidak membuat mereka memperoleh peningkatan insentif pada L dan H

Mungkin sekarang kita terlahir sebagai manusia yang mempunyai animal insting yang tinggi, tetapi sudah saatnya kita juga meningkatkan behavior yang baik. Entah dengan pendidikan yang lebih tinggi atau dengan nilai spiritual yang lebih baik. Who knows....