Terkait dengan masalah pelaksanaan BOPB yang sedang ramai diperbincangkan, ada baiknya kita tinjau kembali secara filosofis sistem BOPB. Diawali dengan UI yang membutuhkan dana, maka berbagai opsi ditawarkan seperti menaikkan biaya sesuai student unit cost, subsidi silang atau menaikkan uang semesteran sebesar Rp 300,000 agar UI tetap survive. Seperti yang telah dijelaskan Jahen dibawah, bahwa BOPB merupakan 1st degree of price discrimination atau perfect full price discrimination. Dengan adanya sistem ini maka akan terjadi kenaikan pembayaran bagi sebagian besar orang.
Secara konsep memang terlihat ‘adil’ bagi keuangan mahasiswa, namun yang terjadi saat ini adalah bukti kelemahan system ini yaitu kecurangan. Jika kita tinjau kembali, justru BOPB ini merupakan sebuah manifesto ketidakadilan bagi golongan menengah dan kaya. Mengapa demikian? Indonesia menggunakan sistem pajak progresif yang digunakan untuk didistribusikan kembali. Distribusi tersebut memiliki tujuan untuk pemerataan pendapatan atau untuk hal lain termasuk pendidikan. Artinya, dengan system BOPB ini maka golongan kaya akan ‘dimiskinkan’ dua kali.
Mungkin bagi golongan kaya hal ini tidak begitu bermasalah, namun coba bayangkan apa yang terjadi dengan golongan menengah. Coba kalkulasi antara pajak yang dibayarkan selama enam bulan dan kenaikan bayaran per semester (untuk golongan menengah rata-rata Rp 3,000,000) lalu bandingkan dengan tunjangan yang ia dapatkan dari pemerintah jika ia seorang PNS. Is it fair for the middle class? Belum lagi masalah akuntabilitas rektorat dalam penentuan besaran kebutuhan dan pendapatan. Selain itu kita harus menerima konsekuensi subsidi silang ini dengan penurunan kualitas mahasiswa UI. Tahun ini merupakan tahun dengan tingkat Drop Out tertinggi. Tidak perlu saya sebutkan alasannya.
Mahasiswa diberikan fasilitas yang sama satu dengan yang lainnya. Dengan system BOPB ini, siapa yang akan menjadi free rider? Oleh karena itu akan lebih baik jika kita kembali ke system pembayaran semula yaitu system flat yang sulit untuk dicurangi. Lagipula Gumilar pernah berkata “Hanya dengan menaikkan bayaran sebesar Rp 300,000 UI dapat tetap survive..” Sehingga tidak terlalu memberatkan golongan menengah dan lebih ‘adil’ bagi golongan kaya.
Mungkin selanjutnya akan timbul masalah baru seperti orang-orang yang tetap tidak mampu membayar. Mereka tetap harus mendapatkan keringanan melalui berbagai cara yaitu dengan dimotivasi atau bekerja sama dengan pihak-pihak pemberi beasiswa, kerja/magang di salah satu instansi kampus, ataupun pure mendapat keringanan jika benar-benar tidak mampu. Masih banyak ladang-ladang uang bagi UI yang belum dimaksimalkan. Sesuai dengan UU BHP yang mengizinkan pihak universitas mencari uang sendiri dengan mendirikan perusahaan-perusahaan sendiri seperti PT Daya Makara. Selanjutnya tinggal bagaimana manajemen perusahaan tersebut agar dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Jangan sampai dengan meningkatnya kebutuhan uang, UI menjadi mengabaikan kualitas dan membuat siswa-siswi pintar tapi tidak mampu menjadi takut untuk masuk UI. Biar bagaimanapun mereka tetap harus mendapatkan pendidikan yang layak tanpa harus dibebani masalah biaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar