"Governments never learn. Only people learn."
Milton Friedman

Jumat, 28 Agustus 2009

BOP-B: Just an Ideas (part 2)

(melanjutkan posting sebelumnya)...Apa arti 3 langkah perubahan yang kita lakukan?
Melalui lembaga yayasan beasiswa yang dikelola Universitas (sebut saja suatu saat UI punya yayasan "Makara Foundation") dan kerjasama badan khusus pengkoordinir dana beasiswa departemen pemerintah, informasi akan tersalurkan seara lebih fokus. Peserta didik yang ingin masuk di PTN tertentu langusng berhubungan dengna pihak bersangkutan. Tidak menutup kemungkinan juga mencari sendiri lembaga swasta.(ingat problem 1).

Berikutnya revolusi kebijakan fiskal terfokus untuk memperbanyak jumlah penyedia scholarship. Sasarannya jelas perusahaan-perusahaan besar. Apalagi melihat kenyataan banyak perusahaan besar yang menunggak pajak. Lebih baik memberikan mereka keringangan lewat kompensasi pendidikan.(ingat problem 2)

Makna penting dari pola pembiayaan ini setidaknya ada 3 hal. Pertama, perubahan paradigma dari meminta keringanan menjadi usaha mencari tambahan dana, hal ini juga mempersiapkan mahasiswa Indonesia bersekolah ke luar negeri. Kedua, ada perubahan moral hazard, keringanan BOP-B memang menyediakan biaya yang ringan tapi (tanpa mengurangi respek terhadap mahasiswa penerima BOP-B) hal ini tidak berpengaruh banyak pada motivasi mereka. Lewat beasiswa, mahasiswa kurang mampu justru terpau untuk belajar lebih giat yang menjadi human capital tersendiri bagi mereka di masa depan.

Ketiga, sistem ini membantu kemudahan transparansi keuangan universitas. Dana operasioanal dihitung seara tepat (sesuai proporsi yang boleh ditanggung peserta didik), lalu di bagi sejumlah kapasitas mahasiswa. Sehingga merek bisa memprediksi dengan baik kekurangan dana dan bisa fokus mengalokasikan dana untuk researh. Sistem ini juga meningkatkan tingkat fairness penerimaan mahasiswa. Tidak ada alasan mahasiswa diterima karena ia lebih "berduit" (lewat jalur tambahan diluar jalur resmi) daripada calon lain yang punya kompetensi lebih namun kemampuan finansial lemah, sebab dana operasional sudah diperhitungkan sebelumnya.

Skema ini masih "jauh api dari panggang", tetapi bukan tidak mungkin. Semoga pendidikan Indonesia menjadi lebih baik.

BOP-B : Just an Ideas (part 1)

Keywords: fixed tuition fee, beasiswa, swasta, PTN, dan kebijakan fiskal,

Apa yang coba diangkat sebenarnya merupakan sebuah skema pembiayaan. Pola yang selama ini didominasi oleh pemerintah sedikit berubah dengan memasukkan unsur swasta. Ide ini di mulai, setelah melihat betapa sistem BOP-B yang berbasis price discrimination sering meninggalkan masalah. Assymetric information, distorsi perilaku, dan "kebocoran" (karena tidak mampu menangkap willingness to pay tiap individu). Sebuah inefisiensi atau dalam bahasa non-ekonominya terjadi ketidakadilan.

Berangkat dari kondisi tersebut kigendeng justru cenderung menawarkan penghapusan BOP-B. Alternatifnya justru sebuah sistem fixed tuition fee artinya seluruh biaya ditanggungkan ke peserta didik dengan besar biaya yang sama. Menutup kesempatan orang miskin? Di sinilah peran swasta dan pemerintah bertemu. "Keadilan" yang dituju dicapai lewat sebuah program beasiswa. Peserta didik yang merasa tidak mampu harus mencari beasiswa untuk membayar uang kuliah. Sedikit kejam? Poin utamanya adalah mengalihkan bentuk keringanan pendidikan menjadi beasiswa. Sebuah perubahan paradigma dari mengharap keringanan menjadi mencari tambahan pembiayaan.

Sumber beasiswa diharapkan berasal dari 3 scholarship agent. Pihak swasta (perusahaan), pemerintah, dan universitas. Lubang besar dari ide ini ada 2, yaitu sulitnya akses informasi beasiswa (problem 1) dan jumlah pendonor (problem 2) termasuk besar dana yang tersedia untuk beasiswa. Satu-persatu akan kita bahas.

Dua problem itu dapat dipecahkan jika ketiga scholarship agent berfungsi dengan optimal. Caranya, paling tidak ada 3 hal yang harus dilakukan:
1. Yayasan Beasiswa PTN.Pihak Universitas seharusnya memiiki satu yayasan tersendiri yang khusus menyediakan beasiswa bagi peserta didik.
2. Beasiswa Departemen.Tiap departemen kementerian harus memiliki alokasi dana beasiswa untuk tingkat perguruan tinggi. Selanjutnya dikoordinir oleh pemerintah dibawah Depdiknas agar dikelola database-nya sehingga bisa disosialisasikan kepada PTN
3. "Menjamurkan Beasiswa".Pemerintah membuat sebuah revolusi kebijakan fiskal dengan memberi keringanan pajak pada perusahaan yang mempunyai CSR berupa yayasan beasiswa atau pendidikan (sebab pada umumya scholarship foundation lebih sering menjadi tax avoidance alih-alih tanggung jawab sosial)

Rabu, 26 Agustus 2009

Masalah BOP-B (Ngapain Repot)

Teman-teman yang sama-sama tinggal di rumah economica sedang ribut memikirkan kemungkinan adik-adik mereka terancam untuk dapat melanjutkan pendidikan tinggi, terutama di Universitas Indonesia. Sebuah empati yang begitu luar biasa ditunjukkan oleh mereka. Sehingga masalah BOP-B menjadi topik yang sering kami bahas di rumah. Namun tidak ada untungnya bagi kita jika selama ini kita tidak bisa berbuat banyak demi hajat hidup adik-adik yang pantas mengecap pendidikan di UI.

Argumen saya adalah masalah BOP-B ini pada hakikatnya merupakan masalah yang berawal dari adanya kesalahan implementasi pelaksanaan BOP-B itu dilapangan. Buruknya sistem dan teknis pelaksanaan menyebabkan banyak orang yang nyalinya langsung menciut untuk mendaftar ulang. Kenapa? Betul kata teman-teman saya, adanya asymetric information, namun lebih tepatnya lagi imperfect information.

Akibat adanya imperfect information tersebut, para Maba menjadi takut untuk daftar ulang. Karena informasi yang dilampirkan di website UI mencantumkan biaya kuliah per semesternya mencapai Rp 5 juta untuk bidang sosial dan Rp 7,5 juta untuk bidang eksakta dan kedokteran. Dampak dari kecerobohan ini sangat jelas, orang menjadi ogah melanjutkan perjuangannya untuk menjadi mahasiswa UI.

Jika dikalkulasikan seorang mahasiswa jurusan filsafat, harus mengeluarkan uang kuliah (hanya untuk biaya semester) sebesar Rp 40 juta. Itupun dengan asumsi lulus empat tahun. Akan ada biaya tambahan, untuk biaya makan, kosan dsb. Hal ini tentu akan sangat berat bagi mereka yang orangtuanya berpenghasilan menengah ke bawah.

Demi mengurangi kebocoran dan banyaknya adik-adik kita yang enggan daftar ulang di UI, rektorat harus menyelesaikan rektorat failure yang terjadi ini. Apa yang harus dilakukan supaya masalah ini tidak berlarut-larut:

1. Evaluasi sistem BOP-B.
Hal ini wajib, mengingat dua tahun pelaksanaannya dan selalu saja bermasalah tiap tahunnya.
2. Transparansi keuangan UI.
Sejauh ini kita tidak pernah tahu kondisi keuangan UI dan sebenarnya berapa student unit cost yang harus ditanggung
3. Ada baiknya rektorat mendengarkan keluhan dan saran dari mahasiswa yang berhubungan langsung dengan sistem ini.
Jangan sampai malah mengekang kebebasan dan menutup gerak-gerik para mahasiswa yang berjuang untuk adik-adik mereka. Mereka tidak menuntut banyak, cuma menginginkan aksesibilitas bagi seluruh anak Indonesia.

Dengan adanya tindakan aktif dari berbagai pihak, kita harapkan masalah ini bisa cepat terselesaikan. Masalah ini jangan sampai membuat kita menjadi terpecah belah dan harus mengeluarkan surat pembekuan kegiatan bagi mereka yang berjuang untuk hak-hak mereka yang tertindas.

BOPB vs Flat

Terkait dengan masalah pelaksanaan BOPB yang sedang ramai diperbincangkan, ada baiknya kita tinjau kembali secara filosofis sistem BOPB. Diawali dengan UI yang membutuhkan dana, maka berbagai opsi ditawarkan seperti menaikkan biaya sesuai student unit cost, subsidi silang atau menaikkan uang semesteran sebesar Rp 300,000 agar UI tetap survive. Seperti yang telah dijelaskan Jahen dibawah, bahwa BOPB merupakan 1st degree of price discrimination atau perfect full price discrimination. Dengan adanya sistem ini maka akan terjadi kenaikan pembayaran bagi sebagian besar orang.

Secara konsep memang terlihat ‘adil’ bagi keuangan mahasiswa, namun yang terjadi saat ini adalah bukti kelemahan system ini yaitu kecurangan. Jika kita tinjau kembali, justru BOPB ini merupakan sebuah manifesto ketidakadilan bagi golongan menengah dan kaya. Mengapa demikian? Indonesia menggunakan sistem pajak progresif yang digunakan untuk didistribusikan kembali. Distribusi tersebut memiliki tujuan untuk pemerataan pendapatan atau untuk hal lain termasuk pendidikan. Artinya, dengan system BOPB ini maka golongan kaya akan ‘dimiskinkan’ dua kali.

Mungkin bagi golongan kaya hal ini tidak begitu bermasalah, namun coba bayangkan apa yang terjadi dengan golongan menengah. Coba kalkulasi antara pajak yang dibayarkan selama enam bulan dan kenaikan bayaran per semester (untuk golongan menengah rata-rata Rp 3,000,000) lalu bandingkan dengan tunjangan yang ia dapatkan dari pemerintah jika ia seorang PNS. Is it fair for the middle class? Belum lagi masalah akuntabilitas rektorat dalam penentuan besaran kebutuhan dan pendapatan. Selain itu kita harus menerima konsekuensi subsidi silang ini dengan penurunan kualitas mahasiswa UI. Tahun ini merupakan tahun dengan tingkat Drop Out tertinggi. Tidak perlu saya sebutkan alasannya.

Mahasiswa diberikan fasilitas yang sama satu dengan yang lainnya. Dengan system BOPB ini, siapa yang akan menjadi free rider? Oleh karena itu akan lebih baik jika kita kembali ke system pembayaran semula yaitu system flat yang sulit untuk dicurangi. Lagipula Gumilar pernah berkata “Hanya dengan menaikkan bayaran sebesar Rp 300,000 UI dapat tetap survive..” Sehingga tidak terlalu memberatkan golongan menengah dan lebih ‘adil’ bagi golongan kaya.

Mungkin selanjutnya akan timbul masalah baru seperti orang-orang yang tetap tidak mampu membayar. Mereka tetap harus mendapatkan keringanan melalui berbagai cara yaitu dengan dimotivasi atau bekerja sama dengan pihak-pihak pemberi beasiswa, kerja/magang di salah satu instansi kampus, ataupun pure mendapat keringanan jika benar-benar tidak mampu. Masih banyak ladang-ladang uang bagi UI yang belum dimaksimalkan. Sesuai dengan UU BHP yang mengizinkan pihak universitas mencari uang sendiri dengan mendirikan perusahaan-perusahaan sendiri seperti PT Daya Makara. Selanjutnya tinggal bagaimana manajemen perusahaan tersebut agar dapat dimanfaatkan secara maksimal.

Jangan sampai dengan meningkatnya kebutuhan uang, UI menjadi mengabaikan kualitas dan membuat siswa-siswi pintar tapi tidak mampu menjadi takut untuk masuk UI. Biar bagaimanapun mereka tetap harus mendapatkan pendidikan yang layak tanpa harus dibebani masalah biaya.

Senin, 24 Agustus 2009

BOP-B: A Lemon Problems for Middle Class

Baru saja Prof. Der.Soz. Gumilar Soemantri dalam Kompas hari ini membuat klarifikasi bahwa BEM- UI tidak dibekukan. Tentu kita bingung kenapa muncul isu dibekukan? Kisruh ini dimulai dari ketegangan antara mahasiswa dan pihak rektorat yang masih belum jauh-jauh menyoal BOP (Biaya Operasional Pendidikan) Berkeadilan atau BOP-B

Tidak perlu sampai membolak-balik theory of justice-nya John Rawls, untuk melihat sisi adil mana yang sedang dipermasalahkan. Seharusnya BOP-B adalah price discrimination admission fee yang harus ditanggung sebagai bentuk "adil" bagi kesempatan belajar. Terdengar indah, tetapi kenyataannya pihak mahasiswa mampu menunjukkan "ketidakadilan" dari data-data primer dan sekunder (yang menurut mereka bisa dipercaya). Benarkah orang miskin tidak mendapat keringanan? Ada kebocoran? atau yang paling sulit, bagaimana menentukan"keadilan"?

Sedikit menengahi badai kisruh yang menyebalkan ini, kita coba pahami posisi kedua belah pihak. Saya yakin rektorat tidak akan men-charge mahasiswa yang benar-benar miskin, taruhlah orang tuanya berada di bawah 1$ per hari dalam konsumsinya, dengan angka keterlaluan Rp.5.000.000 misalnya. Banyak bukti menunjukkan mereka mendapat kan BOP terendah yaitu Rp 100.000 per semester sebagai BOP. Masalahnya sekarang ada di middle class ke atas. Anggapah termasuk lower middle class .

Masalah apa? George Akerlof menyebutnya Lemon Problems. Banyak dimensi definisi untuk membahas teori ini. Namun, ide fundamentalnya terdapat pada assymetric information. Hampir mirip dengan kasus asuransi, terdapat fenomena inside information. Hanya sang mahasiswa yang tau kondisi sebenarnya keuangan keluarga mereka. Pihak rektorat tidak tahu jelas. Di sinilah keraguan dan ketidakpercayaan terjadi. Dalam middle class, spread dan distorsi pendapatan dan pengeluaran sangat jelas. Pihak rektorat sebagai pemberi keringanan dengan informasi terbatas dan desakan kebutuhan dan cenderung memasang admission fee yang tinggi akibat ketidaksempurnaan informasi tadi. Hasilnya? "ketidakadilan" pada beberapa anggota golongan middle class terutama dalam zona margin atau abu-abu.

Bukan bermaksud melepas curiga adanya intransparansi rektorat dan birokrasi cacat yang masih mungkin terjadi dalam menciptakan failure. Namun, sekedar menunjukkan sistem BOP-B punya beberapa kebocoran layaknya sistem price discrimination lain dalam ekonomi. Dalam postingan selanjutnya, kigendeng akan coba memberi alternatif kebijakan yang dapat dipertimbangkan. See you on next posting.

Senin, 17 Agustus 2009

Happy Birthday My Beloved Country

Hari ini Indonesia tepat berumur enam puluh empat tahun, bisa dibilang sebuah umur yang cukup tua dibandingkan negara-negara yang pernah dijajah lainnya. Enam puluh empat tahun menjadi sebuah waktu yang cukup untuk memberikan suatu hal yang spesial bagi rakyat Indonesia.

Ketika negeri ini sudah semakin "dewasa", para pemimpin kita masih seperti anak-anak kecil yang tidak memunculkan persatuan yang riil. Mega memilih acara peringatan 17 agustus di Lenteng Agung. cek disini.

Tapi bukan hal ini yang ingin kita bahas, tetapi ada sebuah kajian yang menarik tentang apa yang telah dicapai Indonesia dalam 64 tahun. Cek tabel dibawah ini


Apa yang telah dicapai Indonesia selama 64 tahun ini adalah apa yang dicapai eropa barat selama 400 tahun. Sebuah pencapaian yang secara data merupakan angka yang hebat. Namun yang disayangkan adalah peningkatan tersebut tidak merata pembagiannya. Mungkin inilah yang menjadi permasalahan di negeri ini.

Kita memiliki SDA dan SDM yang melimpah, tetapi ini justru menjadi sebuah kutukan bagi Indonesia. Karena semakin banyaknya sumberdaya alam yang dimiliki justru Indonesia menjadi negara yang malas untuk berusaha (hanya sebuah asumsi).

Pada tahun-tahun berikutnya, kita harapkan pencapaian yang akan dicapai Indonesia akan semakin lebih baik lagi dan bisa semakin mensejahterakan rakyat.

Rabu, 12 Agustus 2009

Seperti Apakah Jawa 2020?

Prediksi ekonomi yang ada, menyebutkan pertumbuhan ekonomi RI bakal menjadi yang paling cepat di asia tenggara. Bahkan, di sumber yang sama, Presiden SBY menargetkan pertumbuhan lebih dari 5% pada 2010, dan lebih besar di tahun berikutnya..
Di sisi yang lain, disebutkan bahwa Pulau Jawa masih menjadi kontributor terbesar bagi PDB Indonesia, sebesar 57,8 persen

artinya, jika pertumbuhan ekonomi RI menjadi paling cepat, otomatis di situ pertumbuhan ekonomi (atau dengan kata lain aktivitas ekonomi) di pulau jawa sendiri akan menjadi makin cepat..

Tentu, menarik sekali membayangkan seperti apa Jawa ke depannya..Jika benar Indonesia akan mengalami pertumbuhan sebesar itu, tentu Jawa juga akan mengalami imbasnya..

Berkaca pada periode Orde Baru silam, dimana sering juga dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia termasuk ‘macan Asia’ (termasuk Indonesia yang pernah digolongkan Macan Asia)akan menyaingi Amerika dan Eropa menjelang tahun 2000 (paling sering pendapat ini dikeluarkan oleh ahli sosial-ekonomi, futurist, dan pengarang Megatrends 2000, John Naisbitt).. namun nyatanya?pada tahun 1997 saja perekonomian Asia sudah ambruk..

Melihat, dari fakta itulah, bisa saja ramalan-ramalan tentang keberhasilan ekonomi Indonesia adalah nonsens..

Namun, di sini saya mengambil asumsi bahwa Indonesia bisa belajar dari kegagalan yang lalu, sehingga benar-benar mampu mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi..

Pertanyaannya adalah: Seperti apakah Jawa nantinya, khususnya di era perdagangan global 2020? akankah ia akan menjadi suatu kawasan industri yang maju? dengan tingkat kesejahteraan penduduknya yang makin tinggi, tingginya angka pendapatan, berkurangnya pengangguran, melimpahnya gedung pencakar langit, dan lain-lain indikator wilayah yang maju..

ataukah ia akan jadi suatu kawasan yang semakin menunjukkan suatu kesenjangan: yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin miskin..toh dengan tingkat pertumbuhan seprti sekarang saja tingkat kesenjagan sudah tinggi, apalagi jika tingkat pertumbuhan menjadi lebih tinggi dari sekarang..

Jadi, manakah yang benar? Semakin senjang atau semakin makmur?

Ah, ataukah saya yang terlalu bermimpi? mengingat 2012 nanti, katanya kita akan kiamat..

Kenapa Harus Ada -/+

Empat semester telah saya lalui di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Menjadi mahasiswa tingkat tiga memberikan sebuah dampak yang luar biasa bagi saya sendiri. Ada tanggung jawab untuk bisa membuktikan bahwa saya disini benar-benar untuk menuntut ilmu. Pada akhirnya ilmu yang saya dapatkan wajib untuk diaplikasikan atau disampaikan kepada orang lain yang kurang mengerti dengan permasalahan disekeliling kita, khususnya permasalahan ekonomi.

Dua tahun telah saya lalui, tetapi ada pertanyaan besar didalam benak saya. Kenapa nilai yang diberikan kepada mahasiswa ada +/-. Kenapa harus ada A- dan B+???? Apa yang melandasi para pembuat kebijakan memberikan sebuah penilaian yang memuat tanda +/-..

Apakah bisa dibilang para dosen tidak pernah ingin mengakui kemampuan para mahasiswa? Sangat simple kan ketika seorang mahasiswa tidak bisa membuktikan dia mengerti pelajaran yang sedang diambil, sang dosen bisa memberikan angka B atau C...lantas kenapa harus ada A-....???

Pertanyaan yang sampai sekarang saya sendiri tidak tahu jawabannya....

Tulisan seorang mahasiswa yang selalu dirugikan karena adanya nilai B+ dan A-....