"Governments never learn. Only people learn."
Milton Friedman

Sabtu, 19 Februari 2011

Mencoba Hal baru

Sebelumnya saya minta maaf untuk kualitas tulisan pendek ini kepada teman-teman Rumah Economica dan pembacanya. Lama tidak menulis, terutama topik ekonomi, ternyata bersifat menumpulkan kemampuan. Jadi setelah membaca posting ini, segeralah menulis biar tidak tumpul seperti saya.

Ide tulisan ini muncul ketika membaca buku Indonesia Economic Outlook 2001, terbitan FEUI. Saya langsung tertarik pada bagian "Potensi Bisnis Global", alasannya Pak Willem Makaliwe, dkk. sedang membahas soal India dan China. Dari dulu, kalau sudah soal India dan China, entah kenapa syaraf otak selalu tergoda untuk mencari tahu apa saja tentang mereka. Kenapa? Singkatnya, saya setuju dengan pendapat di luar sana, bahwa China dan India adalah "keajaiban" ekonomi.

Soal betapa "ajaib mereka (baca: pertumbuhan ekonomi), bisa dicari di referensi yang lebih baik dari blog ini. Yang paling menarik dari tulisan di buku IEO 2011 tadi, adalah soal bagaimana India dan China diperbandingkan satu lawan satu dalam beberapa aspek.

Saya coba jelaskan singkat, dengan mengutip twiter saya sendiri beberapa minggu yang lalu. India dan China tumbuh dengan cara mereka masing-masing. Unsur perencanaan masi kuat di China, termasuk strategi "picking winner". India lebih bebas tapi berhati-hati dengan Penanaman Modal Asing. Yang mencolok China membangun ekonomi di atas jalan raya antar provinsi yang panjang dan lebar dan subsidi industri yang besar juga. India membangun ekonomi dengan mengundang tamu dari Amerika Serikat dan Eropa dengan tangan terbuka di Bangalore. Sekaligus, menjadi operator call center bagi perusahaan-perusahaan besar mereka, dengan membiarkan jalan-jalan pedesaan tetap berlubang.

Untuk semakin mempersingkat tulisan, yang terlintas dipikiran setelah membaca tulisan tersebut cuma pertanyaan 'bagaimana dengan di Indonesia?' Atau lebih spesifik "Indonesia harus menjadi yang mana?' Jawabannya tentu seru untuk didiskusikan,

Saya memilih India. Oke, liberalisasi perdagangan dan berhati-hati terhadap PMA saya setuju, tapi ada hal lain yang saya lebih setuju. Entah kenapa dari dulu saya yakin potensi Sumber Daya Manusia di Indonesia melebihi potensi Sumber Daya Alamnya. Beranjak dari sini, sekali lagi saya setuju dengan India menyoal pembangunan industri dengan fokus "soft infrastructure"

Lucu juga, padahal hampir semua seminar ekonomi yang saya ikuti selalu memarahi pemerintah soal infrastruktur. Bangun jalan, pelabuhan, dan sebagainya maka ekonomi meningkat. Semuanya benar. Sayang nya pemerintah kesulitan, tentu kesulitan uang maksudnya. Sisihkan soal korupsi, mengurusi negara dengan luas daerah dan kontur topografi rumit seperti Indonesia bukan perkara mudah. Butuh ahli bendungan Belanda, konstruksi Jerman, atau teknologi termutakhir Amerika Serikat dan pekerja "rela tak dibayar" China untuk membangun infrastruktur tangguh. Tentu itu mahal.

Kenapa tidak ambil cara India? Si ahli pencetak entrepreneur di bidang IT. Toh di Indonesia siswa sekolahan juga bisa membuat antivirus. Tukang bajak software juga betaburan. SMADAV termasuk antivirus yang disegani. Dan, infratuktur untuk teknologi informasi relatif murah dari pada membangun jalan. Kita bisa mengatasi lautan dan pegunungan dengan satu hal, internet.

Apakah ini mungkin? Bisa saja. Industri kreatif sangat sukar mati dan bisa tumbuh dimana-mana tanpa banyak perlu bantuan pemerintah.

Sebelum menutup, tentu ada variabel penting lain untuk mencuri sukses India. Kunci itu bernama pendidikan, dan untuk hal ini sulit mencari jalan instan. Perhatian soal pendidikan sangat penting, termasuk mendorong keterbukaan institusi pendidikan Indonesia dengan dunia luar. Hal itu butuh intervensi pemerintah.

Kesimpulannya, mungkin skenario ini bisa ditawarkan dan dicoba pemerintah. Setidaknya, sekedar dibaca saja. Terima kasih

Tidak ada komentar: