"Governments never learn. Only people learn."
Milton Friedman

Kamis, 17 Februari 2011

Liberalisasi Untuk Mengatasi Harga Pangan

Harga komoditas primer sejak terjadi oil boom pada tahun 2005 membuat harga komoditas tambang juga meningkat dan kemudian sempat mengalami penurunan kembali pada tahun 2008 karena adanya krisis. Setelah krisis pulih harga komoditas primer kembali mengalami tren kenaikan, bahkan harga komoditas pertanian yang sebelumnya relatif stabil pun mulai merangkak naik sejak tahun 2009 dan mencapai puncaknya pada akhir tahun 2010. Kondisi ini mendorong ekspektasi inflasi sehingga Bank Indonesia kembali menaikkan suku bunga untuk menjaga laju pertumbuhan inflasi. Lambatnya intervensi pemerintah dalam menjaga stabilitas harga pangan ikut menambah kekhawatiran pasar sehingga berdampak negatif terhadap perekonomian.

Rakyat miskin semakin terbebani dengan harga pangan yang meningkat, terutama kalangan pedagang makanan. Tidak seperti pedagang di pasar yang dapat menetapkan harga berbeda setiap harinya, pedagang makanan tidak dapat menyesuaikan harga dengan cepat karena takut kehilangan konsumen (price rigidity). Untuk ke depannya, Indonesia perlu belajar dari Rusia dengan tidak menggantungkan pangannya kepada Negara lain. Hal ini dilakukan Rusia karena awalnya ketersediaan pangan awalnya sangat bergantung dari Negara lain sehingga mengalami krisis pangan pada tahun 1990-an. Sejak itu Rusia membangun sektor pertaniannya secara besar-besaran untuk menghindari ketergantungan pangan.

Berbagai permasalah di bidang hukum yang tidak kunjung selesai belakangan ini seolah mengalihkan pandangan kita dari permasalahan ekonomi yang sedang dihadapi Indonesia. Tingginya harga komoditas terutama cabai menyulitkan masyarakat. Pemerintah telah mengeluarkan sembilan solusi untuk atasi lonjakan harga pangan yaitu pendekatan dari hilir ke hulu, kebijakan fiskal khusus untuk pangan, supply dalam negeri diminta untuk dapat memenuhi permintaan nasional, cadangan makanan di BULOG harus kuat, peningkatan produktivitas pangan, ketahanan pangan dari tingkat keluarga, pencegahan penyelundupan pangan, prediksi pangan harus akurat, dan regulasi untuk pengamanan lahan pertanian. Tentu kita semua berharap agar solusi tersebut berhasil dijalankan sehingga tercapai stabilitas harga pada tahun ini.

Lonjakan harga pangan tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan di berbagai Negara lain karena cuaca ekstrem di berbagai Negara dan mengakibatkan inflasi meningkat dengan cepat. Wacana liberalisasi pangan untuk menangani harga pangan yang melonjak pun muncul, termasuk dari Presiden World Bank, Robert Zoellick. Harga pangan yang tinggi membuat beberapa Negara khawatir dan memutuskan untuk menetapkan larang ekspor komoditas pangan khususnya kebutuhan pokok. Tentunya hal ini akan memperburuk keadaan bagi Negara-negara yang kesulitan pangan dan justru semakin mendongkrak harga pangan.

Tentunya wacana liberalisasi pangan juga perlu diperhatikan. Belajar dari krisis pangan pada tahun 2008 dimana akibat musim panas di Rusia, Vladimir Putin menghentikan ekspor gandum sementara karena takut kembali terjadi krisis pangan. Beberapa Negara juga melakukan hal yang sama karena khawatir terjadi kekurangan pasokan, namun justru terjadi krisis pangan. Oleh karena itu Negara-negara yang tergabung dalam G20 didesak untuk memprioritaskan permasalahan ini dengan menghapus larangan ekspor. Melalui G20, Indonesia dapat berperan dalam mengatasi permasalahan global ini. Dengan terbukanya ekspor pangan, maka akses kepada Negara-negara yang kesulitan pangan menjadi lebih mudah sehingga diharapkan harga pangan akan kembali stabil. Oleh karena itu, jangan terus terpana oleh permasalahan lain dalam negeri yang tidak kunjung terselesaikan. Secepatnya kita harus memperbaiki stok pangan untuk tahun ini dan merevitalisasi lagi fungsi BULOG sebagai stabilisator harga pangan.

Tidak ada komentar: