"Governments never learn. Only people learn."
Milton Friedman

Sabtu, 19 Februari 2011

(Jangan) Paksa Kami Nonton Film Nasional

Baru-baru ini dunia perfilman Indonesia dibuat heboh. Bukan karena sineas dalam negeri memproduksi film porno (lagi). Bukan pula disebabkan rumah produksi dalam negeri yang mampu melahirkan film-film sekelas Inception, Avatar, atau The King's Speech. Indonesia heboh bukan karena film kita memenangkan penghargaan bergengsi sekelas Oscar atau Golden Globe. Melainkan karena hilangnya peredaran film-film Hollywood.

Melalui dunia maya, Indonesia ribut karena para penikmat film luar negeri (khususnya film-film top Hollywood) tidak akan bisa lagi menikmati tontonan berkelas dari Negeri Paman Sam. Pasalnya Motion Picture Association of America (MPAA) dan Ikatan Perusahaan Film Indonesia (Ikapifi) menolak kebijakan Direktorat Jendral Bea Cukai yang menerapkan bea masuk atas hak distribusi film impor. kebijakan ini menjadikan Indonesia sebagai satu-satunya negara yang menerapkan kebijakan ini. Padahal sebelumnya para distributor ini telah dikenai pajak sebesar 23,75% dari nilai barang. Akibat kebijakan tersebut Ikapifi memutuskan untuk tidak mengimpor film luar negeri. Sementara MPAA menolak untuk mendistribusikan film-film produksi Hollywood ke Indonesia.

Tulisan ini berusaha untuk tidak terjebak ke dalam UU dsb yang mestinya lebih dimengerti oleh anak hukum. Akan tetapi kondisi ini menjadi lebih menarik jika kita menariknya ke dalam analisa ekonomi sederhana yang selalu dipelajari dalam ECON 101, konsep Supply, Demand, serta Tax. Kebijakan pemerintah yang menetapkan bea masuk atas hak distribusi tentunya menjadi salah satu Tax dan Trade Barriers dalam teori Ekonomi International. Tidak usah terlalu jauh membahasnya sampai ke Teori Hecksher-Ohlin, dsb karena dengan menggunakan perangkat Supply Demand saja kita bisa mengerti bahwa kebijakan ini akan merugikan banyak pihak.

Dengan adanya bea masuk atas hak distribusi, seharusnya konsumen yang paling dirugikan. Karena sama halnya dengan Cukai Rokok, pajak tersebut pada akhirnya dibebankan kepada para konsumen. Akan tetapi dengan adanya langkah MPAA dan Ikapifi menarik film-film mereka dari peredaran, maka ada keterbatasan Supply film di bioskop-bioskop nasional, katakanlah 21 dan Blitzmegaplex.

Ketika bioskop-bioskop tidak memperoleh pasokan film luar negeri, maka mereka tentunya berharap banyak kepada film dalam negeri. Sayangnya dalam waktu satu tahun hanya ada 60-70 judul film yang diproduksi. Film-film tersebut (sayangnya) mempunyai kualitas film yang jauh panggang dari api. Tipikalnya sama semua, masukkan unsur-unsur mistis dan sedikit adegan vulgar. Jadilah film yang siap ditonton. Kalau pun ingin membuat film mistis, buatlah yang benar-benar berkualitas. Mungkin ada banyak hal yang melandasi para produser untuk menjual hantu dan tet*k di bioskop.

Ketika jumlah film yang (bisa) ditayangkan berkurang serta kualitas film yang sangat buruk, maka konsumen film akan mengurungkan niat untuk datang ke bioskop. Permintaan pecinta film yang elastis tentunya berpengaruh sangat besar terhadap kondisi ini. Mereka memilih menggunakan uang mereka untuk membeli DVD bajakan atau download lewat internet. Bioskop lagi-lagi mengalami kerugian, supply film yang kurang dan permintaan terhadap film dalam negeri yang semakin menurun menyebabkan bioskop-bioskop bisa bangkrut. Jika bioskop bangkrut (jumlahnya mencapai 500an), pekerjanya pun akan jadi pengangguran. Begitu banyak distorsi yang terjadi dari sisi produsen (bioskop), penggemar film, dan para pekerja.

Siapa yang diuntungkan disini? Jika para penjual DVD bajakan jeli, mereka bisa mengambil pangsa pasar yang sangat besar. Harga DVD bajakan atau pun original akan naik. Pemerintah juga akan beruntung, karena pajak tentunya menjadi uang masuk bagi mereka. Terakhir, para sineas dalam negeri yang akan kehilangan saingan. Jika mereka bisa memproduksi film dengan bagus, bisa jadi penonton Indonesia akan tertarik untuk menyisihkan sedikit uangnya untuk menonton mahakarya anak bangsa.

Tapi, tulisan ini tidak berhenti di sini. Jika pada akhirnya kita memang "dipaksa" untuk menonton film dalam negeri, apakah kebijakan tersebut efektif? Jika benar bioskop-bioskop tersebut kekurangan supply dan pada akhirnya bangkrut, dimana film-film nasional ini akan diputar? Di ruang-ruang kelas atau di ruang-ruang seminar? Sama saja kan. Dengan berbaik sangka saya yakin pemerintah ingin memajukan film nasional, akan tetapi kalau bioskopnya ditutup, para sineas dalam negeri juga akan ikut gulung tikar.

Jadi, bagi Menkeu, Dirjen Pajak, dan Dirjen Bea Cukai, ada baiknya kebijakan ini diperhatikan dengan seksama. Kalau memang ingin menambah pemasukan negara, apakah harus dengan mengorbankan banyak pihak? (Jangan) Paksa kami menonton film nasional karena untuk bisa menikmati film tergantung dari selera penonton dan kualitas film. Bukan karena ini ciptaan anak bangsa atau tidak.

2 komentar:

Desi Sri Wahyu Utami mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Desi Sri Wahyu Utami mengatakan...

Wah, para penjual DVD bajakan sekarang diberikan jalan rejeki yang lebih dengan adanya kebijakan ini dan bioskop akan kembali mati suri seperti dulu kala. Atau bahkan mati untuk selamanya.