"Governments never learn. Only people learn."
Milton Friedman

Selasa, 03 Maret 2009

tidak makan nasi tidak kenyang?

Beberapa waktu yang lalu, ramai dibicarakan adalah krisis pangan yang menimpa indonesia (termasuk dunia)..apalagi krisis energi yang juga menimpa dunia internasional, ikut memperparah buruknya kondisi pangan ini..mungkin skrang permasalah pangan ini kurang menajdi tema yang seksi lagi, mengingat ada tema lain yang lebih menarik (baca:krisis keuangan)..namun, benarkah sektor pangan ini sudah bisa kita anggap aman?

dengan tidak adanya sesuatu yang memanas dari sektor ekonomi pertanian, memang bukan berarti bahwa sektor ini telah aman..perlu dicatat, bahwa rigidnya harga pangan dunia terhadap harga minyak bisa dianggap bahwa sektor ini sangat rawan (mengapa bisa rawan, karena harga minyak sendiri sangat fluktuatif, rentan terhadap pengaruh keuangan global yang saat ini notabene sedang memburuk)..

satu sebab ini saja bisa kita anggap bahwa sektor pangan masih belum sepenuhnya aman

sebab kedua yang perlu diperhatikan (dan menjadi pokok pikiran penulis dalam tulisan ini) adalah mengenai diversifikasi pangan..

sebelum membahas mengenai diversifikasi pangan, mari kita tinjau dulu sektor pertanian Indonesia

sudah menjadi rahasia umum, bahwa pertanian kita dewasa ini cenderung dianaktirikan..betapa tidak, ketika pertanian kita mencapai puncaknya di era 80an (swasembada beras), perlahan tapi pasti basic kita sebagai negara agraris kita tinggalkan, dan mencoba menjadi negara industri pendukung agraris..kenyataannya, kita gagal menjadi industri, apalagi industri pendukung agraris..produk2 pertanian kita pun sering kalah bersaing di pasar global..tidak hanya itu, untuk menutup jumlah konsumsi dalam negeri saja tidak cukup..kita lebih banyak impor..

dan, produk yang penulis uraikan di sini (agak terfokus pada) beras (sekaligus mengaitkannya dengan diversifikasi)

selama ini telah menjadi dogma bagi bangsa indonesia, bahwa 'tidak makan nasi tidak kenyang'

sehingga, konsumsi beras sangat tinggi..padahal produksi dalam negeri sendiri cenderung rendah, kurang bisa menutup konsumsi dalam negeri..sehingga, kebijakan impor diambil..(tak heran harga beras cenderung mahal, karena supply dlam negeri yang kurang, serta adanya impor)..tingginya impor inilah yang mempengaruhi ketahanan pangan kita..

meninjau demand dan supply dari beras..tidak adanya supply dalam negeri yang meningkat (termasuk minimnya insentif dari pemerintah untuk meningkatkan produksi beras) serta teteap tingginya demand masyarakat, menjadikan beras ini mahal.. maka, tak heran ketika krisis pangan kemarin, harga beras melambung gila2an, dan ketahann pangan kita terancam..asumsikan pemerintah tak kunjung memberikan perhatian ke sektor pertanian, maka apa yang bisa kita lakukan?

satu2nya cara adalah merubah demand..dengan kata lain:diversifikasi pangan..

tak mudah merubah dogma 'tak makan nasi tak kenyang'..namun justru di sinilah kuncinya..

MenurutKepala Sub. Bagian Humas Badan Ketahanan Pangan - Departemen Pertanian, Ir Iping Zainal Arifin, ketersediaan energi kita berlebih, yaitu 2966 kkal/kap/hari, sedangkan konsumsinya 2200 kkal/kap/hari. Demikian juga dengan ketersediaan protein 75,71 gr/kap/hari sementara konsumsinya 56,6 gr/kap/hari.. dan apa yang menyebabkan terjadinya krisis pangan?

jawabannya satu: pangan disimbolkan dengan beras.." Kebijakan pangan yang terfokus pada beras, di satu sisi, mengakibatkan produksi beras meningkat, di sisi lain masyarakat tertentu yang tadinya tidak memakan beras terdorong mengkonsumsi beras karena mudah mendapatkannya, sehingga mendorong masyarakat yang pada awalnya secara tradisional tidak mengkonsumsi beras menjadi mengkonsumsi beras,"Prof. Dr. Ir. Benyamin Lakitan, M.Sc, - Pakar Pangan Ristek, Sesmen Ristek (dikutip dari situs ristek

maka, semakin jelas bahwa memang terlalu 'dominannya' beras ini memberikan tekanan terhadap perekonomian dan ketahanan pangan kita..

maka, sekali lagi:diversifikasi ato penganekaragaman pangan..

hanya saja, penganekaragaman yang terjadi selama ini justru memberi efek lain, karena adanya salah kaprah..tidak adaya beras (atau nasi) diganti dengan: mie, dan roti..akibatnya:memberi tekanan baru terhadap ekonomi, karena kita menjadi begitu banyak mengkonsumsi terigu (pada 2007 menyentuh angka 4,5 juta ton), yang mengakibatkan kita harus impor (yang berarti ketergantungan kita tinggi: ketahanan pangan rawan)

inilah yang patut dicermati..ambiguitas beras..satu sisi:beras terlihat begitu 'eksklusif' (bagi rakyat daerah)..ditambah anggapan 'tidak makan nasi tidak kenyang', mengakibatkan konsumsi mereka begitu tinggi..akibatnya kosnumsi sagu, jagung, umbi2an (yang bisa dikelola sebagai sumber karbohidrat dan protein lain, yang notabene juga bisa digarap demi menjaga ketahanan pangan) terabaikan..sementara beras sendiri juga terlihat begitu murah, dan tidak elite (khususnya bagi kaum kaya) yang mengakibatkan tingginya konsumsi terigu(ditambah tetap tingginya konsumsi beras)..sebuah fakta yang ironik bukan?

mengapa sumber daya sendiri(macam sagu, umbi2an, dll) tidak dikonsumsi(padahl relatif lebih ekonomis dari sisi produksi), padahal tenaga ada? sebuah pr besar jika ingin menjaga ketahanan pangan..tidak lagi berkaitan dengan teknis, tapi nonteknis (yaitu faktor budaya, dan faktor 'gengsi')..

nb: sebuah notes kecil..butuh banyak masukan..tidak bermksud tau banyak, hanya sedikit gagasan

Tidak ada komentar: