"Governments never learn. Only people learn."
Milton Friedman

Kamis, 26 Februari 2009

Fenomena Big Mac Index



Ketika sedang makan McDonald’s sering kali kita lupa memperhatikan elemen-elemen ekonomi yang bisa kita telaah dan telusuri. Suatu saat, ketika membuka situsnya The Economist, ternyata ada sebuah tulisan aneh yang membahas masalah Big Mac Index. Sebuah index yang menjelaskan hubungan Big Mac – Burger porsi besar yang diproduksi oleh McDonald’s – terhadap Purchasing Power Parity (PPP) sebuah negara. Memang terkesan aneh, tetapi kondisi inilah yang dibahas oleh Economist Inteligent dari majalah The Economist.

Berdasarkan indeks tersebut timbul sebuah kesimpulan yang sangat bagus. Harga Big Mac yang paling murah di dunia diproduksi oleh Malaysia dengan harga Ringgit 5.50 atau sebesar $1.52. Lebih murah ketimbang Indonesia (Rp 19.800/$1.74) dan Thailand (Baht 62.0/$1.77). Negara dengan harga Big Mac paling mahal adalah Norwegia (Kroner 40.0/$5.79), diikuti Swiss (CHF 6.50/$5.60) dan Denmark (DK 29.5/$5.07). Di negara asalnya sendiri harga Big Mac berada pada angka $3.54. Sebuah harga yang hampir sama dengan Brazil (Real 8.02/$3.45) dan Israel (shekel 15.0/$3.69).

Dari harga-harga tersebut negara yang mempunyai PPP paling tinggi adalah Korea Selatan dengan 932. Fenomena Big Mac ini sendiri kedepannya bisa dijadikan sebuah indikator makro yang jelas untuk menggambarkan PPP sebuah negara. Walaupun masih sulit untuk diaplikasikan secara lebih mendasar, namun pada kenyataannya angka-angka PPP yang diperoleh dari Big Mac Index akan sama dengan PPP yang diperoleh dari barang yang biasanya diperbadingkan.

Disini kita juga tahu bahwa, belum tentu semakin majunya sebuah negara akan menyebabkan mahalnya harga makanan yang sama di tempat yang berbeda. Bisa jadi karena bahan yang digunakan di negara tertentu lebih kompleks, ataupun pajak makanan yang lebih tinggi atau rendah di negara tertentu.
Fenomena ini mungkin belum diketahui oleh banyak orang, namun menjadi sebuah hal yang menarik jika banyak orang yang berusaha untuk mengembangkan teori ini dan bisa jadi memperoleh penghargaan nobel ekonomi karena sebuah pemikiran layaknya seorang freakonomics.

Tidak ada komentar: